25 radar bogor

PBNU dan Muhammadiyah Ikut Kritisi Rencana Penerapan PPN Pendidikan

Ilustrasi-siswa-belajar
Ilustrasi-siswa-belajar
Ilustrasi-siswa-belajar
Ilustras

JAKARTA-RADAR BOGOR, Gelombang penolakan terhadap rencana pemerintah memungut PPN untuk lembaga pendidikan terus mengalir. Kali ini disampaikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Muhammadiyah.

Dua ormas Islam tersebut memang sangat terkait dengan isu itu. Sebab, keduanya memiliki banyak lembaga pendidikan dan tersebar di seluruh Indonesia.

Suara dari PBNU disampaikan Ketua Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif PBNU Arifin Junaidi. LP Ma’arif menaungi lebih dari 21 ribu sekolah dan madrasah di Indonesia. Arifin menuturkan, penerapan PPN untuk lembaga pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap biaya pendidikan.

Padahal, biaya pendidikan yang dipatok lembaga pendidikan di bawah naungan Ma’arif selama ini sangat terjangkau. Namun, biaya tersebut hanya cukup untuk menggaji para guru dengan layak. ”Itu pun sudah cukup berat (bagi para wali murid, Red), apalagi kalau harus menghitung komponen margin dan pengembalian modal,” katanya.

Arifin tidak habis pikir dengan sikap pemerintah yang ingin memungut PPN untuk lembaga pendidikan. ”Mindset para pengambil kebijakan di negara ini apa sebenarnya,” ujarnya.

Dia menyatakan, pemberlakuan pajak bagi lembaga pendidikan sangat bertentangan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Padahal, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sejatinya tugas pemerintah. Tetapi, pada kenyataannya, justru masyarakat yang berperan melalui sekolah-sekolah swasta.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir melontarkan pernyataan senada. Dia menegaskan, Muhammadiyah sangat berkeberatan atas rencana penerapan PPN itu.

Seharusnya, kata dia, ormas-ormas keagamaan yang membantu meringankan beban pemerintah dengan mendirikan sekolah-sekolah swasta mendapat reward atau penghargaan. ”Bukan malah dibebani pajak yang pasti memberatkan,” ungkapnya.

Menurut dia, PPN bidang pendidikan jelas bertentangan dengan UUD 1945 pasal 31 tentang pendidikan dan kebudayaan. Haedar mengatakan, pemerintah seharusnya mendukung dan memberikan kemudahan bagi ormas yang menyelenggarakan pendidikan secara sukarela dan berdasar

Pemerintah dan DPR seharusnya tidak memberatkan ormas penggerak pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat dengan pajak. Sebab, hal tersebut berpotensi mematikan lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini banyak membantu rakyat kecil.

Dihubungi terpisah, Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hendarman tidak banyak merespons.

Dia hanya menyatakan masih menunggu koordinasi dengan Kemenkeu terkait dengan isu PPN pada sektor pendidikan. ”Kami menunggu pembicaraan lebih lanjut dari Kementerian Keuangan,” ujarnya singkat.

Anggota Komisi X DPR dari Partai Gerindra Himmatul Aliyah menuturkan, pihaknya menolak rencana pemberlakuan PPN pendidikan. Ada sejumlah alasan rencana itu harus ditolak. Salah satunya, pendidikan merupakan hak setiap warga yang harus dijamin negara. Pemerintah juga diamanatkan untuk membiayai pendidikan warganya. Hal itu jelas tertuang dalam pasal 31 UUD 1945.

Maka, rencana pemerintah mengenakan pajak di sektor pendidikan membuat masyarakat yang dijamin haknya justru terbebani. Pemerintah yang berkewajiban membiayai justru memungut biaya pendidikan dari rakyat.

Itu tentu tidak etis sekaligus bertentangan dengan konstitusi. ”Jadi, jika rencana tersebut diberlakukan dan UU disahkan, akan rawan digugat di Mahkamah Konstitusi,” paparnya.

Sumber: JawaPos.Com
Editor: Alpin