25 radar bogor

Kreativitas Pengurus Masjid Jogokariyan Hadapi Pandemi

DARI UMAT UNTUK UMAT: Ustad M. Jazir menunjukkan alat genose milik Masjid Johokariyan.
DARI UMAT UNTUK UMAT: Ustad M. Jazir menunjukkan alat genose milik Masjid Johokariyan.

Ramadan memang telah berakhir. Namun, ada kisah positif yang bisa diteladani dari Masjid Jogokariyan, Jogjakarta.

Para pengurus masjid itu berupaya menemukan formula yang tepat untuk menggulirkan roda ekonomi sekaligus mencegah persebaran Covid-19.

=========

ILHAM WANCOKO, Jawa Pos

=========

DURJA, pedagang pasar sore di Kampung Ramadan Masjid Jogokariyan, tampak bungah. Pengunjung pasar tiban itu membeludak. Dagangannya laku keras. Berbagai kuliner ada di situ, tumplek bleg. Mulai sate kere atau gajih khas Jogjakarta, dimsum, hingga teriyaki. Semuanya tinggal pilih. Hidung pun terasa dimanjakan saat berjalan di pasar sore itu.

Ya, Ramadan lalu, pengurus Masjid Jogokariyan mengadakan pasar sore. Aktivitas itu disambut sukacita oleh para pedagang. Pengunjung juga tenang berbelanja meski pandemi Covid-19 belum berakhir. Sebab, mereka yakin akan kedisiplinan pengurus Masjid Jogokariyan dalam menjalankan protokol kesehatan (prokes).

Sekitar pukul 16.00, suasana tampak ingar bingar. Pengunjung pasar sore sudah banyak, seluruhnya terlihat memakai masker. Jarak satu pedagang dengan pedagang lain juga berjauhan, lebih dari 2 meter. Tiap beberapa puluh langkah ada hand sanitizer di tengah jalan yang bisa digunakan pengunjung secara gratis.

Sayang, belum semua pengunjung menjaga jarak dengan disiplin. Karena itu, beberapa panitia terus mengingatkan mereka. Jawa Pos sempat mendapati anggota linmas yang menegur pengunjung karena tak mengenakan masker. ’’Mas, pakai maskernya,” ujar anggota linmas bernama Cahyo itu.

Pengunjung yang ditegur itu mengaku tidak membawa masker. Cahyo pun mencoba mencari masker yang dibawanya. Ternyata habis. ”Saya kehabisan, diberikan ke pengunjung. Mas silakan ke masjid, nanti diberi masker gratis,” tuturnya.

Memang, protokol kesehatan dijalankan dengan ketat. Penyebaran Covid-19 memang harus dicegah. Namun, melambatnya roda perekonomian juga harus diatasi. Menurut Lili, pedagang teriyaki di pasar sore Masjid Jogokariyan, tanpa diselenggarakan pengurus masjid, pasar sore itu akan tetap ada tiap Ramadan. ”Tahun lalu saya jualan di sini ramai. Meski sudah diingatkan pengurus masjid bahwa mereka tidak menggelarnya,” ucap Lili.

Mungkin karena pasar sore tiap Ramadan sudah jadi tradisi, tanpa digelar pengurus masjid pun tetap saja banyak pengunjung. ”Pasar sore ini sudah 16 tahunan. Mungkin karena itu, tahun ini pengurus masjid terpaksa menggelar pasar sore,” jelasnya.

Mau tidak mau, menggelar pasar sore atau tidak, pengunjung tetap banyak. Pedagang juga menjamur. ”Tahun lalu tetap ramai, walau kami sempat diusir,” ungkapnya.

Kini, setelah pengurus masjid menggelar pasar sore, pedagang merasa lebih aman. Namun, protokol kesehatan tetap harus dijalankan. ”Kemarin sempat ditambah jarak antarpedagang, kami terima asal tetap bisa jualan,” imbuh Lili.

Ketua Dewan Syuro Masjid Jogokariyan Muhammad Jazir mengakui, kejadian tahun lalu membuat pengurus memutuskan untuk menggelar pasar sore tahun ini.

Sebab, walaupun tidak digelar, pasar sore tetap berjalan. ’’Justru kalau kami tidak menggelarnya, siapa yang akan mengendalikan dan menerapkan protokol kesehatan,” tegasnya.

Memang, tantangan menggelar pasar sore saat pandemi jauh lebih besar. Beberapa kali penerapan protokol kesehatan diperbaiki. Beberapa kali juga ada sorotan terhadap pasar sore. ”Tapi, dampak perekonomiannya juga bermanfaat untuk warga,” paparnya.

Pengurus masjid melakukan survei kecil-kecilan terhadap pedagang. Dari survei itu, omzet pasar sore diprediksi bisa mencapai Rp 7,5 miliar dalam sebulan.

”Setidaknya pedagang bisa untuk Lebaran. Bisa membayar kontrakan rumah, bisa melanjutkan kehidupan,” tuturnya.

Pasar sore merupakan salah satu upaya pengurus Masjid Jogokariyan untuk membantu masyarakat bertahan selama pandemi. Jazir menceritakan, karena pandemi, banyak warga yang mengeluh kehilangan pendapatan. ”Semua itu dikeluhkan ke masjid,” terangnya.

Bahkan, berkali-kali warga datang untuk meminta bantuan, sekadar untuk makan. Para ustad juga berupaya mendapatkan bantuan pinjaman untuk enam bulan. ”Tidak ada ceramah, tidak ada khotbah,” kata Jazir.

Karena itu, Masjid Jogokariyan tetap beraktivitas. Tidak hanya mengumpulkan sedekah, pengurus juga berinovasi membuat masker. ”Di awal pandemi, kami kerahkan 50 ibu-ibu untuk membuat masker,” paparnya.

Karena memiliki hubungan baik dengan sejumlah bank syariah, akhirnya banyak pesanan dari bank-bank syariah. Hasilnya, 100 ribu masker terjual dalam beberapa bulan di awal pandemi.

”Pengusaha konfeksi juga kami pekerjakan. Bahkan, ada pengusaha properti yang mengerahkan karyawannya untuk membuat masker dari Masjid Jogokariyan,” ungkapnya.

Pernah juga pengurus membuat hand sanitizer dari fermentasi singkong. Diolah di rumah beberapa warga. ”Semua dilakukan untuk menggerakkan roda ekonomi masyarakat,” tuturnya.

Selain itu, Masjid Jogokariyan memiliki alat tes GeNose. Jazir menjelaskan, sebenarnya pihaknya sudah memesan tiga alat GeNose. Namun, baru satu yang datang.

”Dengan alat ini, warga Jogokariyan bisa dites GeNose gratis. Pedagang pasar sore juga. Warga lain bisa dengan membayar Rp 15 ribu,” paparnya.

Yang lebih tidak disangka, sedekah dan infak di masa pandemi justru meningkat. Pada 2019, jumlah infak dan sedekah mencapai Rp 1,7 miliar. Pada 2020, jumlahnya mencapai Rp 2,3 miliar. ”Meningkat Rp 600 juta,” terangnya.

Saat Idul Adha 2020 juga terjadi peningkatan jumlah hewan kurban. Terdapat 45 sapi yang dikurbankan. Di sisi lain, tahun 2019, hanya ada 40 sapi.

”Belum lagi tiga sapi di antaranya superjumbo, beratnya lebih dari 1,2 ton. Hewan kurban ini dari warga Qatar,” ungkapnya.

Jazir memprediksi peningkatan infak, sedekah, dan hewan kurban terjadi lantaran masjid lain tidak beraktivitas. Semua itu akhirnya membanjiri Masjid Jogokariyan. ”Sebenarnya kami belajar dari pembangunan piramida Mesir soal ini,” ucapnya.

Pembangunan piramida menggunakan batu yang jauh dari lokasi. Ternyata, pengiriman batu itu menunggu Sungai Nil banjir besar. ”Kreativitas inilah yang kami tiru,” jelasnya.

Di masa pandemi ini, tentu kreativitas bisa menjadi peluang. ”Karena itu, masyarakat tidak usah panik. Kreativitas akan mengubah semuanya,” paparnya. (*)