25 radar bogor

Koalisi Save KPK Sebut Firli Langgar UU dan PP

Ketua KPK Firli Bahuri.
Gugatan praperadilan Ketua nonaktif KPK Firli Bahuri ditolak
Ketua KPK Firli Bahuri saat menyampaikan keterangan pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, beberapa waktu lalu (Dery Ridwansah/ JawaPos.com)

JAKARTA-RADAR BOGOR, Kontroversi penonaktifan 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat (TMS) menjadi aparatur sipil negara (ASN) terus menjadi sorotan. Masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Save KPK meminta pihak-pihak terkait bertanggung jawab dan tidak saling lempar kewenangan atas kebijakan tersebut.

Anggota Koalisi Save KPK Asfinawati menjelaskan, pihaknya melihat ada upaya untuk mengaburkan tanggung jawab Ketua KPK Firli Bahuri dalam polemik tersebut.

Salah satunya, membiaskan isi Surat Keputusan (SK) Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang TMS Menjadi ASN.

Pembiasan itu merujuk pada pernyataan KPK yang menyebutkan bahwa masih ada keputusan lebih lanjut dari SK yang diteken pada 7 Mei tersebut. ”Ada yang mencoba membiaskan seolah-olah SK itu belum final, belum berlaku. Padahal, di SK-nya tidak ada pernyataan belum final,” kata Asfin –sapaan akrab Asfinawati– kepada Jawa Pos kemarin (14/5).

Menurut Asfin, SK yang salinannya ditandatangani Plh Kepala Biro Sumber Daya Manusia (SDM) KPK Yonathan Demme Tangdilintin itu secara jelas menunjukkan bahwa Ketua KPK Firli Bahuri menginginkan 75 pegawai TMS menyerahkan tugas dan tanggung jawab measing-masing kepada atasan langsung.

Tujuan SK tersebut adalah menon-job-kan 75 pegawai dengan alasan tidak memenuhi syarat menjadi ASN. ”Dan, (SK) itu sudah berlaku,” tegas ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tersebut.

Asfin menilai, pernyataan KPK bahwa 75 pegawai TMS bukan nonaktif adalah bentuk pembiasan informasi. ”Tujuannya (pembiasan informasi, Red) jelas untuk mengaburkan tanggung jawab Firli sebagai ketua KPK,” ungkapnya.

Berlakunya SK itu berpotensi membuat pekerjaan-pekerjaan pemberantasan korupsi terbengkalai. Khusus di bagian penindakan, pegawai yang dinyatakan TMS serta harus menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya ke atasan masing-masing tidak bisa lagi punya kewenangan penuh menangani perkara-perkara korupsi.

Asfin mengungkapkan, secara umum ada beberapa lapis tindakan melawan hukum yang dilakukan Firli. Di antaranya, kebijakan TWK yang melampaui wewenang undang-undang (UU) dan peraturan pemerintah (PP). Serta pelaksanaan TWK yang sarat pelanggaran hak asasi manusia (HAM), termasuk diskriminasi terhadap perempuan. ”Publik harus melihat bahwa TWK ini sebagai persoalan yang serius,” tuturnya.

Dia pun menyatakan bahwa KPK sedang melempar bola liar ke pihak-pihak terkait seperti Badan Kepegawaian Negara (BKN) serta Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB). ”Toh, pihak-pihak terkait itu juga melempar balik tanggung jawabnya ke KPK,” ujar dia.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengajak masyarakat berfokus pada persoalan TWK yang diselenggarakan KPK bekerja sama dengan BKN.

Dia meyakini bahwa asesemen TWK yang sarat rekayasa itu hanya dimanfaatkan Firli sebagai sarana balas dendam terhadap pegawai-pegawai yang kontra dengan kebijakan pimpinan. ”Salah satu yang diberhentikan paksa itu adalah tim investigasi dugaan pelanggaran etik Firli saat menjabat deputi penindakan KPK,” jelas Kurnia.

TWK juga menyasar pegawai yang mendukung petisi memprotes kontroversi Firli saat menjabat deputi penindakan. ”Jadi, kesimpulannya bahwa TWK ini sekadar formalitas belaka,” paparnya.

Sumber: JawaPos.Com
Editor: Alpin