25 radar bogor

Beredar SK Nonaktif Pegawai KPK

Ilustrasi KPK
Bupati Cianjur Diduga Menyelewengkan Dana Bantuan Untuk Gempa Cinajur
Ilustrasi logo KPK (Dok/JawaPos.com)

RADAR BOGOR – Meski mendapat tekanan dari publik, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditengarai tetap menindaklanjuti hasil asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK).

Para komisioner lembaga antirasuah itu diduga nekat menonaktifkan pegawai-pegawai yang masuk kategori tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai aparatur sipil negara (ASN) melalui surat keputusan (SK).

Keputusan menonaktifkan pegawai TMS itu tertera dalam naskah surat keputusan (SK) yang ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri. Sejumlah pegawai mengaku mendapat draf SK itu kemarin (8/5). ”Iya, baru diterima hari ini (kemarin, Red),” kata salah seorang pegawai KPK yang tidak ingin disebutkan namanya kepada Jawa Pos.

Merujuk pada naskah yang belum diberi tanggal itu, pimpinan KPK memerintahkan kepada pegawai yang namanya masuk daftar TMS untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan masing-masing alias nonaktif sampai ada keputusan lebih lanjut. ”Itu (SK) semacam pemberhentian sementara (bagi pegawai TMS, Red),” ungkapnya.

Sumber itu menjelaskan bahwa potongan draf SK tersebut beredar di kalangan pegawai KPK kemarin. Sangat mungkin draf itu diperoleh dari bagian internal yang mengurus perihal administrasi surat-menyurat. ”Dan di-forward (diteruskan) ke pegawai (KPK, Red) yang lain,” terang pegawai KPK yang namanya masuk daftar TMS menjadi ASN itu.

Saat dikonfirmasi, Firli Bahuri belum memberikan tanggapan perihal draf SK yang diterima Jawa Pos tersebut. Perwira tinggi polisi berpangkat komisaris jenderal (komjen) itu tidak membalas pesan Jawa Pos yang meminta klarifikasi tentang isi surat tersebut.

Di sisi lain, dukungan untuk 75 pegawai KPK yang terancam diberhentikan akibat tak lolos asesmen TWK terus bergulir. Terbaru, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) meminta Presiden Joko Widodo untuk membatalkan TWK itu.

Ketua Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad menyatakan, TWK yang dilaksanakan KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) itu bukan tes masuk aparatur sipil negara (ASN). Sebab, pegawai KPK yang dites sudah lama bekerja di KPK. ”TWK tidak bisa dijadikan alat untuk mengeluarkan pegawai KPK yang sudah lama bergelut dalam pemberantasan korupsi,” ujarnya kemarin (8/5).

Rumadi menilai pelaksanaan TWK cacat etik-moral dan melanggar hak asasi manusia (HAM) yang dilindungi UUD 1945. Itu menyusul pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam TWK cenderung rasis, lucu, seksis, diskriminatif, dan aneh. Salah satu contohnya pertanyaan seperti ”kalau salat Subuh pakai qunut atau tidak?”.

”Pertanyaan semacam itu tidak bisa dipertanggungjawabkan,” kata Rumadi. Pertanyaan-pertanyaan aneh itu, lanjut dia, sama sekali tidak terkait dengan wawasan kebangsaan, komitmen bernegara, dan kompetensi pemberantasan korupsi. ”Pertanyaan-pertanyaan itu ngawur, tidak profesional, dan mengarah pada ranah personal,” paparnya.

Berdasar keterangan yang disampaikan pegawai KPK, kata Rumadi, tampak terdapat unsur kesengajaan (by design) untuk menarget pegawai KPK yang diwawancarai. Dari situ, TWK terlihat sebagai skrining atau penelitian khusus (litsus) zaman Orde Baru (Orba) atau mihnah pada masa Khalifah Abbasiyah–Khalifah Al-Ma’mun (170 H/785 M–218 H/833 M), Al-Mu’tasim (w 227 H), dan Al-Watsiq (w 232 H).

”Mihnah berarti ujian keyakinan yang ditujukan kepada para ulama, ahli hadis, dan ahli hukum sehubungan dengan permasalahan kemakhlukan Alquran,” imbuh dia. Pihaknya pun meminta Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) dan Komnas Perempuan mengusut dugaan pelanggaran hak-hak pribadi, pelecehan seksual, rasisme, dan pelanggaran lain dalam TWK itu. (tyo/c19/oni)