25 radar bogor

Disurati 69 Guru Besar, Jubir MK Bilang Begini

Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah) didampingi Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dan Saut Situmorang saat mendaftarkan uji materi UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (20/11/2019). Tiga pimpinan KPK yakni Agus Rahardjo, Laode Mumahmad Syarif, dan Saut Situmorang secara pribadi mengajukan judicial review terkait Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). (Dery Ridwansah/ JawaPos.com)
Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah) didampingi Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dan Saut Situmorang saat mendaftarkan uji materi UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (20/11/2019). (Dery Ridwansah/ JawaPos.com)

JAKARTA-RADAR BOGOR, Mahkamah Konstitusi (MK) merespons surat dari 69 guru besar yang menamakan Koalisi Guru Besar Antikorupsi Indonesia. MK mengapresiasi surat yang disampaikan oleh para guru besar jelang pembacaan putusan judicial review (JR) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Dapat dipahami sebagai bagian dari cara para guru besar sebagai warga negara untuk berekspresi, menyampaikan aspirasi dan berharap pada MK. Tentu MK berterima kasih, menghormati dan menghargai langkah-langkah semacam itu,” kata juru bicara MK, Fajar Laksono kepada JawaPos.com, Senin (3/5).

Fajar meminta, publik untuk menghormati proses peradilan yang berjalan transparan. Dia pun meminta publik nantinya untuk menghormati apapun putusan dari hakim MK, terkait JR UU KPK hasil revisi.

“Mari saling menghormati koridor kewenangan dan bidang masing-masing. Tidak kalah penting, mari hormati proses peradilan transparan yang berujung pada putusan MK, apapun nanti putusannya,” pinta Fajar.

Dalam surat tersebut, Koalisi Guru Besar Antikorupsi Indonesia menilai, UU Nomor 19 Tahun 2019 secara terang benderang telah melumpuhkan lembaga antirasuah, baik dari sisi profesionalitas dan integritas. Independensi KPK kini sudah mulai hilang, karena hadirnya Dewan Pengawas, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sampai pada alih status kepegawaian KPK ke ASN.

Sehingga, akibat perubahan politik hukum pemerintah dan DPR itu, sambung Kurnia, terdapat persoalan serius yang berimplikasi langung pada penanganan perkara tindak pidana korupsi. Dua diantaranya, kegagalan KPK dalam memperoleh barang bukti saat melakukan penggeledahan di Kalimantan Selatan dan penerbitan SP3 untuk perkara mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Selain itu, KPK juga mengalami degradasi etika yang cukup serius. Pelanggaran kode etik, pencurian barang bukti, dan praktek penerimaan gratifikasi serta suap untuk menghentikan perkara korupsi yang ditangani pelan tapi pasti, telah merusak reputasi KPK yang sejak lama justru jadi barometer badan antikorupsi yang cukup ideal.

“Tidak hanya itu, bahkan proses pengesahan revisi UU KPK juga diwarnai dengan permasalahan serius, terutama ihwal proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana
Bapak dan Ibu Hakim Konstitusi ketahui, Undang-Undang KPK hasil perubahan dikerjakan secara kilat selama 14 hari oleh pemerintah dan DPR. Tentu secara kasat mata sudah dapat dipahami bahwa pembahasan regulasi itu juga telah mengabaikan partisipasi masyarakat karena prosesnya tertutup dan tidak akuntabel,” demikian dikutip dari surat para guru besar.

Padahal, UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara tegas menjamin partisipasi masyarakat dalam setiap proses dan tahapan legislasi. Jika praktik ini dianggap benar, bukan hanya isu tertib hukum saja yang dilanggar, namun jauh lebih esensial, yakni mempertaruhkan masa depan kehidupan demokrasi di Indonesia.

Pada konteks lain, lanjut Kurnia, kepercayaan publik kepada KPK juga merosot drastis. Sepanjang tahun 2020 semenjak UU KPK baru berlaku, KPK semakin menjauh dari ekspektasi publik. “Dalam pemantauan kami, setidaknya delapan lembaga survei telah mengonfirmasi hal tersebut,” sambungnya.

Sumber: JawaPos.Com
Editor: Alpin