25 radar bogor

Wacana Revisi RUU Sektor Keuangan, Bank Sentral Harus Tetap Independen

Ilustrasi Gedung Bank Indonesia (BI) (Dok.JawaPos.com)
Ilustrasi Gedung Bank Indonesia (BI) (Dok.JawaPos.com)

JAKARTA-RADAR BOGOR, Wacana pemerintah untuk merumuskan rancangan undang-undang (RUU) sektor keuangan memantik reaksi banyak pihak. Sebagian besar menyoroti relasi pemerintah dengan bank sentral. Jika pemerintah terlalu banyak campur tangan dalam kebijakan Bank Indonesia (BI), maka independensi lembaga tersebut terancam.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menanyakan urgensi RUU tersebut. Menurut dia, selama ini BI sudah berkontribusi banyak dalam melahirkan kebijakan fiskal yang bisa diterima masyarakat. Mulai dari quantitave easing sampai skema burden sharing membeli surat utang pemerintah di pasar primer. “Itu sudah lebih dari cukup,” ungkapnya kepada JawaPos.com tadi malam (20/4/2021).

Dia khawatir, RUU sektor keuangan akan mengembalikan posisi BI seperti pada era Orde Baru. Artinya, kebijakan moneter tidak akan bisa bebas dari pengaruh politik jangka pendek. Kepercayaan investor dan pelaku pasar keuangan terhadap sistem moneter di Indonesia juga bisa tergerus.

Menurut Bhima, moneter untuk kondisi pandemi Covid-19 saat ini masih relatif terjaga. Yang bermasalah adalah kebijakan fiskalnya. Itu terlihat dari serapan anggaran yang rendah, defisit anggaran yang melebar, dan utang pemerintah yang terus meningkat.

Dia juga menyoroti transmisi suku bunga acuan BI 7 day (reverse) repo rate (BI7DRR) ke suku bunga kredit perbankan yang lambat. Jika ditelusuri, salah satu penyebabnya adalah kerapnya pemerintah menerbitkan surat utang dengan bunga tinggi. Akibatnya, bank memilih untuk menempatkan dana/likuiditasnya ke surat utang pemerintah ketimbang untuk mendorong pinjaman ke sektor riil.

“Jadi akar masalahnya pada fiskal. Saya kira pemerintah agak salah ya untuk mencampuri BI terlalu jauh. Menurut saya sih kurang tepat,” tegas alumnus University Of Bradford, tersebut.

Hal senada diungkapkan Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede. Dia menekankan bahwa BI harus independen. Sebab, kebijakan moneter bank sentral merupakan long-time horizon. Kebijakan itu punya target jangka panjang dalam menjaga stabilitas keuangan nasional.

Josua mengatakan bahwa terganggunya independensi BI akan memengaruhi persepsi kredibilitasnya. “Ketika ganti rezim pemerintahan, kebijakan moneternya ikut berubah. Ini menjadi tidak konsisten dan tidak kredibel,” urainya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan Subchi menyatakan bahwa RUU sektor keuangan akan dibahas pada Agustus atau September mendatang. Sambil menunggu masa itu, dia akan terus menerima saran dan masukan terkait penguatan kelembagaan dan pengawasan sektor keuangan. Dia juga menampung keresahan soal independensi BI.

Fathan setuju bahwa BI harus tetap menjadi lembaga yang independen. Namun, harus ikut serta dalam national interest alias kepentingan nasional. Menurut dia, independensi BI harus diikuti oleh tanggung jawab untuk ikut memikirkan perekonomian ketika negara membutuhkan. “Jadi harus sepakat kepentingan nasional di atas segalanya,” tandasnya. (*)

Sumber: jawapos.com
Editor: Yosep