25 radar bogor

BPOM: Sel Dendritik Vaksin Nusantara Untuk Terapi Kanker, Bukan Vaksin

Kepala BPOM soal dua industri farmasi diduga gunakan senyawa berbahaya di obat sirop
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito menyampaikan soal dua industri farmasi yang diduga menggunakan senyawa berbahaya pada obat sirop hingga menyebabkan gagal ginjal akut pada anak.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito (Dery Ridwansah/JawaPos.com)

JAKARTA-RADAR BOGOR, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dengan tegas menyebut bahwa Vaksin Nusantara gagasan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto tak memenuhi kaidah ilmiah. Vaksin tersebut selama ini diklaim oleh sang inisiator bisa mencegah Covid-19 dan minim Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) khususnya untuk lansia dan komorbid.

Vaksin ini menggunakan sel dendritik. Apa itu dendritik?

Data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menjelaskan penelitian vaksin sel dendritik atau yang dikenal sebagai vaksin Nusantara dilakukan oleh tim peneliti dari Balitbangkes Kementerian Kesehatan, RSPAD Gatot Subroto, RSUP Dr. Kariadi dan Universitas Diponegoro. Penelitian ini disponsori oleh PT. Rama Emerald/PT. AIVITA Indonesia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kementerian Kesehatan.

Vaksin Nusantara merupakan vaksin yang menggunakan campuran sel dendritik yang diperoleh dari darah masing-masing orang. Antigen SARS COV-2 Spike Protein produksi Lake Pharma, CA, USA. GMCSF (Sarmogastrim) suatu growth factor yang diproduksi oleh Sanofi-USA Proses pengolahan sel dendritik dikembangkan oleh AIVITA Biomedical Inc. USA yang membutuhkan tenaga terlatih dan sarana produksi yang memenuhi standar GMP agar diperoleh produk vaksin yang memiliki mutu yang baik (tidak terkontaminasi, jumlah sel dendritik sesuai, dan kondisi sel dendritik yang baik).

Pada pelaksanaan uji klinik pengolahan sel tersebut dilakukan oleh tim dari AIVITA Biomedical Inc. USA. Transfer teknologi kepada peneliti di RSUP Dr. Kariadi baru dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada beberapa staf untuk melihat proses yang dilakukan oleh tim AIVITA Biomedical Inc. USA.

Namun menurut BPOM, penggunaan sel dendritik sudah lama digunakan dan aman pada manusia. Bersifat autologous dan tidak menggunakan zat tambahan lain.

Akan tetapi pada Vaksin Nusantara, dosis dan toksisitas merujuk pada hasil uji klinik untuk indikasi lain. BPOM menilai hal ini tidak sesuai karena sel dendritik yang selama ini digunakan adalah untuk terapi kanker bukan untuk vaksin atau pencegahan penyakit.

“Selain itu penggunaan sel dendritik pada vaksin ditambahkan Antigen virus (bagian dari virus SARS CoV-2) dan zat tambahan lainnya untuk menjadikan sel dendritik tersebut menjadi vaksin,” kata Kepala BPOM Penny K Lukito kepada wartawan, Rabu (14/4/2021) kemarin.

 

Kronologi Awal

Menurut BPOM, peneliti pada awalnya mengajukan 1 protokol untuk semua tahapan uji klinik fase 1, fase 2 dan fase 3 pada tanggal 23 November 2020, namun tidak disetujui oleh BPOM karena tidak sesuai dengan standar tahapan pengembangan obat dan vaksin. Untuk itu uji klinik vaksin dendritik harus dilaksanakan mulai fase 1 terlebih dahulu sebelum fase 2 dan fase 3.

Lalu pengajuan uji klinik fase 1 dilakukan pada tanggal 30 November 2020, namun tidak disertai dengan data pengujian pre klinik. Untuk itu BPOM meminta peneliti untuk menyerahkan laporan studi toksisitas, imunogenisitas, penggunaan adjuvan, dan studi lain yang mendukung pemilihan dosis dan rute pemberian, mengingat produk jadi mengandung Spike SARS-CoV-2 yang diperoleh terpisah dari sel dendritik.

“Namun permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh peneliti dan sponsor,” tegas Penny.

Lalu tanggal 1 Desember 2020 Badan POM menerbitkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinik fase 1. Mempertimbangkan aspek keamanan pada subjek dan tidak tersedianya uji pre klinis, maka pada PPUK ditambahkan ketentuan khusus, di antaranya sebelum uji klinis dilaksanakan, fasilitas pengolahan produk harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) atau memiliki penjaminan mutu untuk menghindarkan risiko produk yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan.

“Ketentuan pada PPUK tidak dilaksanakan dengan baik oleh Peneliti, hal ini diketahui pada saat inspeksi dimana fasilitas pengolahan belum memenuhi persyaratan CPOB, pelaksanaan uji klinis tidak dilakukan bertahap pada 3 subjek, pengujian mutu tidak dilakukan untuk setiap produk.

Pada tanggal 14-15 Desember 2020 Badan POM melakukan inspeksi ke center uji klinis RSUP dr Kariadi dan terdapat temuan yang bersifat critical dan major yang harus diperbaiki. Uji Klinis fase 1 dilakukan di RSUP Dr. Kariadi sejak 22 Desember 2020, dengan jumlah subjek penelitian sebanyak 28 orang. Pada tanggal 15 dan 29 Januari, 9 dan 18 Februari 2021. Peneliti telah menyampaikan hasil data interim uji klinik fase 1 berupa pengamatan keamanan 14 hari dan imunogenisitas selama 1 bulan setelah pemberian vaksin uji.

“Namun data yang disampaikan berubah-ubah,” kata Penny.

Data interim uji klinik fase 1 yang diterima oleh BPOM telah dievaluasi dan dibahas bersama Tim KOMNAS Penilai Obat, dan juga para ahli ad-hoc di bidang vaksin (Tim dari ITAGI, Dokter spesialis Alergi Imunologi, Ahli Biologi Molekular). Kesimpulannya, Vaksin Nusantara harus menunjukkan data keamanan dan imunogenisitas. Permintaan pengukuran imunogenisitas sesuai parameter endpoint protokol. Ketidaksesuai pelaksanaan uji kinik dengan standar Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) atau Good Clinical Practice (GCP). Pemenuhan aspek Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) atau Good Manufacturing Practice (GMP) dan Good Laboratory Practice (GLP).

Untuk itu, tanggal 24 Februari 2021 Badan POM menyampaikan hasil rapat pembahasan evaluasi hasil interim uji klinis fase 1 dan meminta peneliti untuk memberikan klarifikasi dalam forum dengar pendapat peneliti kepada BPOM dan tim KOMNAS penilai obat dan tim ahli terkait. (*)

Sumber: jawapos.com
Editor: Yosep