25 radar bogor

Menilik Tradisi Dalam Kaderisasi Pada Organisasi

Kaderisasi merupakan kegiatan yang menjadi harapan bagi organisasi dalam mendapatkan kader yang unggul, berkualitas, dan mampu menjalankan esetafet jalannya organisasi alias regenerasi.

Kaderisasi juga merupakan ajang bagi organisasi guna membina dan memberikan informasi mengenai organisasi terkait secara lebih mendetail kepada calon kader.

Dengan demikian, kaderisasi merupakan kegiatan yang wajib diikuti kader guna meneruskan pergerakan organisasi agar senantiasa berjalan menuju tujuannya.

Namun, implementasi dalam kaderisasi, menurut penulis, sedikit ada masalah. Permasalahan tersebut timbul akibat adanya tradisi kuno yang wajib ada dalam kaderisasi.

Senior beranggapan bahwa tradisi kuno tersebut sebagai bagian dari persiapan dan penguatan mental kader. Tradisi kuno yang dimaksud disini, penulis ambil dua contoh, yakni durasi pemberian materi yang sangat lama, bahkan menyita waktu istirahat tubuh dan evaluasi materi yang dibalut kegiatan pembentakan.

Menurut Direktur Pusat Neurosains UHAMKA, Rizki Edmi Edison, PhD, kemampuan otak untuk menyerap informasi hanya 20 menit pertama. Setelah itu, kemampuan otak akan menurun.

Berbanding terbalik dengan durasi penyampaian materi kaderisasi yang memakan waktu yang sangat lama. Bahkan, berdasarkan pengalaman penulis, penyampaian materi kaderisasi menyebabkan calon kader begadang.

Padahal, calon kader telah mendengarkan materi dari pagi. Tentunya, hal tersebut membuat penyerapan informasi menjadi tidak maksimal. Jika begitu, apakah tujuan salah satu kaderisasi, yakni pemberian informasi mengenai organisasi, dapat berjalan optimal?.

Kaderisasi juga pada praktiknya menyasar seseorang yang telah berusia 12 tahun ke atas. Menurut pakar teori perkembangan kognitif, Jean Piaget, usia 12 tahun ke atas dapat dikategorikan ke dalam usia tahap operasional formal.

Pada usia ini, seseorang telah mencapai taraf kemampuan berpikir abstrak, matematis, dan sistematis, serta dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya dengan logis.

Di usia ini juga, seseorang dapat membayangkan hasil dari sebuah tindakan dan menarik kesimpulan berdasarkan pengalamannya. Bagai ombak yang melawan arah, pada acara kaderisasi, umumnya terdapat pembentakan pada calon kader. Mereka beralasan tindakan tersebut untuk membentuk mentalitas yang kokoh.

Biasanya, para senior membawa calon kader satu per satu untuk dites pemahaman materinya di tempat yang menurut mereka strategis untuk dibentak. Selain itu, terdapat pula adegan tambahan lainnya, seperti menendang dan menggebrak meja, melempar benda-benda, dsbnya.

Padahal, menurut penulis, hal itu bukanlah suatu tindakan yang efektif dalam pembentukan mental calon kader. Tindakan ini justru menimbulkan penolakan dari alam bawah sadar calon kader atau dalam bahasa kesehariannya “Ngapain si lo!”.

Oleh karena itu, kaderisasi semestinya membentuk kader ideal guna keberlangsungan hidup organisasi. Tradisi kuno seperti itu sudah sepatutnya dihapsukan dari peradaban.

Menurut penulis, penyampaian materi yang manusiawi haruslah menjadi pertimbangan penting demi menjaga kualitas penyerapan informasi dan kesehatan mental calon kader. Adapun cara yang dapat ditempuh adalah dengan pengadaan waktu istirahat 5 menit di setiap 20 menit penyampaian materi.

Dapat juga materi disampaikan dalam bentuk permasalahan yang berkaitan dengan organisasi dan mendorong calon kader untuk merumuskan bersama solusinya.

Selain itu, pembentakan yang terjadi haruslah dihilangkan. Biasanya pembentakan terjadi karena ego yang ada pada senior, sehingga kesadaran senior untuk tidak membentak amat dibutuhkan untuk menghilangkan tradisi kuno ini. Bukankah suasana harmonis dalam kaderisasi membuat calon kader menjadi lebih semangat dalam menjalankan organisasi di masa depan?.

Oleh: Fikram Akbar