25 radar bogor

Ratri 02 dan 02

ANDA sudah tahu: sudah setahun Maria terkena Covid-19. Hebatnya: antibodi Maria masih 236. Masih tinggi sekali. Padahal seseorang hanya perlu punya antibodi 20 untuk tidak tertular Covid.

Antibodi saya juga masih 246. Tapi saya kan belum tiga bulan sembuh dari Covid. Teorinya, angka itu akan turun terus seiring dengan perjalanan waktu. Teman saya, yang baru enam bulan sembuh, antibodinya sudah nol.

Maka peserta pertemuan Zoom dari berbagai negara kemarin malam itu terheran-heran. Bagaimana bisa ibu Maria Darmaningsih masih punya antibodi setinggi itu.

Maria, pasien Covid No. 03 Indonesia itu sendiri tidak tahu mengapa. Kemarin Maria hadir di Zoom mingguan diaspora Indonesia itu. Dia jadi narasumber utama. Demikian juga pasien Covid No. 02: Ratri Anindyajati. Yang tidak lain putri kedua ibu Maria. Sedang pasien Covid No. 01 adalah Sita Tyasutami, anak bungsu Bu Maria.

Tiga orang itulah yang dihebohkan se Indonesia setahun lalu. Lengkap dengan bumbu-bumbu hoax-nya. Yang sempat membuat jengkel ketiga wanita itu.

Dr Mo juga tampil sebagai narasumber Zoom yang dikoordinasikan Lia Sundah –istri pencipta lagu James F Sundah­– dari New York itu. Dr Mo adalah pengusul pertama diterapkannya terapi plasma konvalesen untuk pasien Covid di Indonesia (Disway, 25 Maret 2021: Konvalesen Monica).

Dr Mo –Theresia Monica Rahardjo– menceritakan perjuangannyi sampai konvalesen diterima sebagai alternatif pengobatan Covid-19.

Saya sudah tahu itu. Kemarin saya menghubungi Dr Mo lagi. Khusus untuk membahas mengapa antibodi Bu Maria masih begitu tinggi.

“Mungkin setelah sembuh itu Bu Maria sebenarnya terpapar Covid lagi,” ujar Dr Mo. “Bu Maria mungkin tidak merasakannya karena sudah punya antibodi,” ujarnyi. Paparan baru Covid itu, kata Dr Mo, seperti merangsang munculnya lebih banyak antibodi.

Saya tertawa lepas mendengar penjelasan itu. Orang yang sudah terkena Covid, sembuh, punya antibodi cukup, ternyata seperti diboster saat terkena Covid berikutnya.

Maria, dosen tari di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), itu kini lebih banyak di rumah. “Saya berkebun. Tanam sayur,” katanyi.

Rumah Maria, di dekat Depok, memang punya pekarangan luas: sekitar 4.000 m2. Kakak Maria, yang tinggal di sebelahnya, punya tanah 6.000 m2. Kalau digabung menjadi 1 hektare.

Dari tampilan di Zoom kemarin tidak terlihat lagi sisa-sisa kejengkelan Maria setahun lalu. Wajahnya cerah, senyumnya tulus dan bicaranya datar-datar saja. Padahal dia sempat jadi bulan-bulanan medsos.

Maria Darmaningsih ketika melakukan “Zoom” mingguan diaspora Indonesia.

Yang masih terlihat sewot adalah Ratri. Tapi sewotnya lucu –sewot masa lalu yang dia ceritakan sambil tertawa-tawa.

Ratri yang juga ikut bergabung melakukan “Zoom” mingguan diaspora Indonesia.

Waktu itu Ratri dan adiknya memang sempat menjadi bahan gosip tidak habis-habisnya. Mereka dituduh sebagai pembawa Covid ke Indonesia. Mereka digambarkan sebagai wanita pecandu dansa-dansi. Pun malam itu mereka digambarkan menghadiri pesta dansa. Lalu tertular Covid dari orang Jepang. Bahkan ada medsos yang menggambarkan Ratri itu penari telanjang.

Dia juga di-hoax-kan bahwa hari itu pacarnyi dari Jepang lagi ke Jakarta.

Keluarga Maria memang keluarga penari, tapi penari sebagai seni. Penari serius. Mulai tari Jawa, Bali, sampai tari modern.

Pun soal orang Jepang yang dikatakan pacar itu ternyata seorang wanita. Bukan pula teman. Mereka hanya kenal sebagai sesama pencinta tari Salsa.

Saya pun menghubungi Ratri kemarin. Untuk bisa mendapat gambaran lebih detail. Hari itu, Maret 2020, pencinta Salsa lagi kumpul di Jakarta. Di Menteng. Wanita Jepang yang datang ke Jakarta itu adalah guru Salsa. Yang tinggalnya di Malaysia.

Seminggu setelah meninggalkan Jakarta, ‘teman Jepang’ itu dinyatakan positif Covid. Waktu itu belum ada Covid di Indonesia –secara resmi. Pencinta Salsa di Malaysia-lah yang menghubungi komunitas Salsa di Jakarta. Agar yang ber-Salsa di Menteng malam itu memeriksakan diri.

Adik Ratri dinyatakan positif. Demikian juga Ratri. Lalu ibu mereka, Maria.

Ratri sendiri kebetulan belum lagi sebulan pulang ke Jakarta. Sebenarnya Ratri sudah bekerja di Wina, Austria. Sebelum itu Ratri tinggal di Los Angeles. Kerja di sana. Tapi visa kerja Ratri tidak bisa berlanjut di saat Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat.

Ratri memang kuliah di Los Angeles. Dia menamatkan S-2 di sana: dengan gelar master di bidang kesenian dan produser pertunjukan seni.

Sebenarnya S-1 Ratri di ilmu hubungan internasional –dari Universitas Parahyangan, Bandung. Tapi keluarga ini benar-benar keluarga seniman. Maria menurunkan jiwa seni penuh ke ketiga anaknyi. Yang pertama, laki-laki, kini di Bali: Bhismo Wrhaspati. Seorang musisi. Grup musiknya bernama KunoKini.

Ratri dan adiknya mewarisi bakat tari ibu mereka. Ketika sang ibu mendirikan sanggar tari di rumah besar itu, Ratri dan sang adik ikut menjadi guru tari. Sang adik, Sita Tyasutami, jadi guru tari Jawa.

Ketiga anak itu sekolah dasar sampai menengah di Kanada –ikut ibu mereka yang mendapat beasiswa S-2 di sana. Sang ibu tetap mengasuh tiga anak itu ketika berpisah dengan sang suami – -yang bekerja di perusahaan konstruksi.

Dari cerita Ratri itu saya bisa membayangkan betapa tertekan ibu dan tiga anak itu saat dinyatakan sebagai pasien Covid No.1, 2, dan 3 di Indonesia. Apalagi diiringi berbagai gosip hoax yang jauh dari api.

Yang bisa membalikkan nama baik mereka adalah ini: Ratri menjadi orang dari golongan pertama yang mendonorkan plasma konvalesen. Maria sebenarnya juga mau. Tapi umurnyi di luar syarat yang diizinkan jadi pendonor.

Ratri saat donor plasma dipegangi ibunyi dan ditunggui adiknyi.

Ratri pun tercatat sebagai pendonor No. 02 plasma konvalesen di Indonesia. Seperti dipaskan saja: pasien Covid No. 02 menjadi pendonor konvalesen No. 02.

Setelah itu Ratri didatangi banyak orang: diminta jadi pendonor untuk pasien-pasien berikutnya. “Terutama di saat banyak tokoh agama tertentu banyak yang terkena Covid,” ujarnyi.

Waktu itu terapi plasma konvalesen masih dilakukan secara tertutup. Belum ada izin dari pemerintah. Baru Dr Mo sendiri yang berani melakukannya. Dasarnya: otonomi pasien. Yakni atas dasar permintaan pasien.

Sebenarnya akhir Maret itu Dr Mo sudah mengusulkan terapi plasma konvalesen kepada Presiden Jokowi. Respons tercepat datang dari Sekjen PDI-Perjuangan Hasto Kristianto. Dr Mo diminta presentasi di depan pimpinan PDI-Perjuangan.

Sejak itulah ide Dr Mo terus menggelinding. Ujungnya di bulan Desember 2020, saat Ketua BNPB Letnan Jenderal Doni Monardo minta Dr Mo presentasi. Saat itulah disepakati Palang Merah Indonesia (PMI) sebagai pelaksana bank plasma konvalesen. Sejak itu terapi plasma konvalesen menjadi resmi. Saya pun, saat terkena Covid, mendapat transfusi konvalesen 2 bag.

Di Zoom kemarin itu, Dr Mo mengakhiri sesi dengan nada tinggi. Itu karena Dr Anthony Tjio, orang Indonesia yang di Mayo Clinic Amerika, tidak setuju pada pengobatan konvalesen.

“Bisa menularkan banyak penyakit,” kata Anthony –yang kelihatannya paling tua di antara kami. Bahkan ia mengatakan, di Tiongkok jutaan orang tertular HIV akibat konvalesen. Saya pun mencari data itu di Tiongkok: belum ketemu.

Dr Mo menaikkan nada suaranyi. “Mungkin Indonesia ini dinilai masih begitu mundurnya, tidak bisa membersihkan plasma dari berbagai penyakit,” komentar Dr Mo.

“Cuci plasma itu makanan saya sehari-hari,” tambahnyi. “Kalau transfusi plasma konvalesen digambarkan seperti itu, berarti kemampuan PMI sebagai bank darah juga diragukan,” kata Dr Mo. “Saya tidak ingin Indonesia dilihat dengan sebelah mata,” tambah Dr Mo.

Untunglah Zoom tiap Senin malam itu selalu dicampur lagu. Terutama ‘Lilin-lilin Kecil’ ciptaan James Sundah. Yang dinyanyikan secara bergantian via virtual. Suasana tegang pun bisa mendadak mencair lagi.

Yang dapat giliran tampil kemarin malam adalah tim perawat RSI –Rumah Sakit Immanuel, Bandung.

Para perawat itu tidak hanya bisa jadi lilin-lilin kecil di kegelapan Covid, tapi juga jadi lilin-lilin besar di dunia tarik suara. (Dahlan Iskan)