25 radar bogor

Orang Tua Komorbid, Siswa Tak Perlu Ikut PTM. Pemda dan Sekolah Diminta Lakukan Pendataan!

Belajar-tatap-muka
Nampak murid SMAN 2 Cibinong ketika mengikuti belajar tatap muka yang dilakukan oleh Disdik Kabupaten Bogor, Senin (15/3/2021). HENDI/RADAR BOGOR
Belajar-tatap-muka
Nampak murid SMAN 2 Cibinong ketika mengikuti belajar tatap muka yang dilakukan oleh Disdik Kabupaten Bogor, Senin (15/3/2021). HENDI/RADAR BOGOR

JAKARTA-RADAR BOGOR, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memang mendorong sekolah untuk membuka pembelajaran tatap muka (PTM). Namun, keputusan sepenuhnya tetap berada di tangan orang tua siswa.

Menurut Mendikbud Nadiem Makarim, kewenangan itu diberikan agar orang tua bisa melihat risiko anak atau kasus Covid-19 di keluarganya.

Misalnya, bila ada orang tua atau anggota keluarga yang memiliki penyakit bawaan atau komorbid, disarankan anak tidak mengikuti PTM.

”Karena kalau orang tuanya punya komorbiditas yang tinggi, sebaiknya anaknya jangan sekolah dulu,” tuturnya dalam acara diskusi kemarin (1/4/2021).

Namun, lanjut dia, sekolah tetap harus membuka opsi PTM setelah guru dan tenaga kependidikan menerima vaksinasi lengkap. Terlebih bila anak-anak sudah menginginkan kembali ke sekolah dan sulit menjalani pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Nadiem mengungkapkan, Indonesia sedikit tertinggal soal pembukaan sekolah ini. Baru 20 persen sekolah yang melakukan PTM. Sementara itu, sudah hampir 85 persen negara-negara Asia Pasifik kembali ke sekolah tatap muka secara penuh

. ”Jadinya kita sedikit ketinggalan juga dengan negara-negara lain,” ungkapnya. Padahal, pembukaan sekolah dibolehkan sejak Januari. Namun, keputusan tersebut ditentukan oleh pemda.

Menurut Nadiem, saat ini hidup bersinggungan dengan Covid-19 merupakan kenyataan yang harus dihadapi. Karena itu, mau tidak mau, harus mulai melaksanakan sekolah tatap muka dengan protokol kesehatan yang ketat.

Selain itu, dana BOS sudah diberikan fleksibilitas full untuk sekolah melakukan persiapan tatap muka. Dana BOS dapat digunakan untuk membeli masker, hand sanitizer, thermo gun, hingga kebutuhan lain untuk melengkapi daftar isi kesiapan sekolah sebelum PTM. ”Terserah mau masuk dua kali seminggu, tiga kali seminggu. Asal maksimal 50 persen kapasitasnya,” tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf meminta, sebelum PTM dibuka, pihak sekolah dan pemda melakukan pendataan pada siswa yang orang tuanya memiliki komorbid. Sebab, kekhawatiran penularan tak hanya terjadi di sekolah. Namun juga di rumah. ”Kalau ada yang komorbid, tolong diizinkan siswa untuk tidak ke sekolah,” ungkapnya.

Dia juga menyoroti kesiapan PTM. Dari sidak yang dilakukannya ke Kabupaten Bogor, ternyata banyak sekolah yang belum memenuhi prasyarat checklist untuk buka sekolah.

Dari 250 sekolah yang disiapkan PTM, hanya 170 yang memenuhi syarat. Hal itu harus betul-betul dicermati agar sekolah tak serta-merta menyelenggarakan PTM tanpa persiapan matang.

”Tidak semua sekolah bisa serta-merta pembelajaran tatap muka, harus memenuhi daftar periksa yang ditetapkan Kemendikbud,” tegasnya.

Persoalan lainnya soal jam belajar di sekolah. Dia mengaku sempat diprotes oleh guru SMK karena waktu PTM yang terlalu singkat. Pasalnya, untuk SMK yang sebagian besar proses pembelajaran berupa praktikum, waktu dua jam sehari tidak cukup.

Dia juga meminta pemerintah memikirkan dengan betul urusan transportasi. Sebab, tidak semua siswa diantar jemput orang tua ke sekolah.

Sementara, angkutan umum belum sepenuhnya memenuhi protokol kesehatan yang ditetapkan secara ketat. ”Terutama angkot ya. Karena itu, kami minta pemda betul-betul menyiapkan dan mengawasi,” ungkapnya.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) Lina Miftahul Jannah mendukung kebijakan Kemendikbud bahwa anak di keluarga yang memiliki komorbid tidak perlu ikut PTM.

Dia mencontohkan anak-anaknya yang tidak diizinkan ikut PTM. ’’Saya khawatir juga kalau PTM dimulai. Apalagi kami keluarga rentan dan komorbid,’’ kata Lina.

Dia mengungkapkan, komorbid pada keluarganya adalah diabetes atau gula darah. Sedangkan anaknya masih duduk di bangku sekolah kelas II dan VI SD. Lina tinggal di kompleks perumahan yang sama dengan pasien Covid pertama dan kedua di Perumahan Studio Alam, Kota Depok, Jawa Barat.

Lina berharap kebijakan yang baik dari Kemendikbud itu dijalankan sampai tingkat terbawah. Kemendikbud juga harus memantau pelaksanaan kebijakan itu di sekolah-sekolah. ’’Soalnya kadang-kadang UPTD-nya yang gak menangkap aturan ini di bawah,’’ jelasnya. (*)

Sumber : jawapos.com
Editor : Yosep