25 radar bogor

Bom Bunuh Diri: Urgensi Reaktualisasi Nilai-Nilai Islam Damai Melalui Basis Pendidikan

RADAR BOGOR – Ketika ada orang atau kelompok, yang dengan tanpa beban menyatakan bahwa bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Katedral Makasar beberapa waktu yang lalu tidak ada sangkut paut bahkan tidak boleh disangkutpautkan dengan agama, bagi saya itu adalah sebuah kenaifan yang sempurna.

Kembali wajah agama Islam harus rela dicoreng dengan tinta kebiadaban dari pengikutnya sendiri. Motif pemboman gereja Katedral di Makasar yang telah ditelusuri pihak kepolisian serta hasil pengamatan dari berbagai ahli terorisme, bermuara pada satu kata kunci – menunaikan apa yang diimani sebagai kebenaran.

Bila agama, dalam hal ini Islam, dianalogikan sebagai sebuah rumah besar yang ditinggali oleh keluarga yang telah beranak-pinak, dan suatu ketika salah seorang anak dari keluarga di rumah itu melakukan sebuah aksi pembunuhan, tentu penghuni rumah tidak rela bila rumah yang mereka tinggali selama ini disebut sebagai sarang pembunuh.

Saya paham dengan psikologis semacam ini. Namun tentu, sebagai manusia yang dilahirkan dengan diberikan piranti nurani dan juga akal untuk bernalar, naif ketika kita tidak melakukan sebuah refleksi dan autokritik atas kejadian bom bunuh diri yang dilakukan seorang muslim, terlebih yang dia serang adalah kelompok dari agama lain.

Mengapa menjadi sulit atau tabu untuk mengakui bahwa ada beberapa pengikut Islam yang telah secara mendasar salah menafsirkan nilai-nilai Islam yang penuh cinta kasih? Mengapa tidak sedikit diantara kita memilih untuk menghindari sebuah kenyataan bahwa ada pesakitan mental yang menjangkit beberapa bagian tubuh dari umat Islam?

Bila semua ini terus ditutupi dan tidak segera dilakukan sebuah diagnosa nilai dan nalar, maka ini akan menjadi sumbu yang diizinkan terbakar untuk meledakkan rumah Islam secara lebih besar di kemudian hari.

Menurut hemat penulis, ada dua bentuk program yang kemudian menjadi amat mendesak untuk dilakukan sebagai upaya mendiagnosa penyakit yang menjangkit sebagian kelompok di internal muslim serta meminimalisir potensi terulangnya kebiadaban serupa di kemudian hari.

Pertama, pihak kepolisian Republik Indonesia harus mendokumentasikan rekam jejak seluruh narapidana terorisme baik yang sudah tewas dalam penangkapan, divonis mati, atau yang dibebaskan, tentang perjalanan pendidikan mereka baik formal maupun non-formal.

Dokumen ini akan menjadi informasi yang disajikan secara ensiklopedis yang bisa mudah diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam melihat benang merah dari konstruksi pemikiran, lingkup pergaulan, rentetan aktivitas, serta motif aksi kebiadaban mereka agar menjadi gambaran bagi siapa saja, yang boleh jadi sedang masuk dalam salah satu tahapan menuju aksi teror yang diorganisir.

Kedua, karena melihat mandulnya performa Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang telah dibentuk pada awal 2018 lalu, Kementerian Pendidikan dan Kementerian Dalam Negeri perlu bekerjasama untuk membentuk tim ahli khusus yang secara fokus dan serius melakukan kerja-kerja kontra-narasi terorisme yang terdiri dari unsur pemerintahan, unsur akademisi, unsur aktivis sosial, unsur penggiat literasi, ahli teknologi dan informasi, dan ahli keagamaan (dari semua agama yang ada di Indonesia).

Tugas inti tim khusus ini untuk secara rutin melakukan riset perkembangan kelompok terorisme di Indonesia, baik kelompok penerus gerakan lama, maupun mereka yang terpapar proksi baru kelompok teroris lain lintas negara.

Selain itu, tim khusus ini juga akan membuat instrumen pengukuran implementasi kurikulum pendidikan di semua jenjang mulai dari PAUD/TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA hingga perguruan tinggi Sarjana sampai Pasca Sarjana dalam memotret potensi infiltrasi ajaran eksklusif radikalisme dan sesat logika dalam menafsir spirit dakwah Islam pada implementasi kurikulum pendidikan dalam proses kegiatan belajar siswa dan mahasiswa di lingkungan sekolah dan kampus.

Tugas lain dari tim khusus ini adalah menyusun secara rutin dan berjangka terkait narasi-narasi penguatan nilai-nilai pancasila, demokrasi dan nasionalisme Indonesia dalam bentuk buku ajar dan buku bacaan yang disesuaikan dengan tingkat atau jenjang pendidikan yang bisa dibaca oleh seluruh siswa dan mahasiswa baik secara mandiri maupun dalam bentuk kelompok bedah buku.

Output dari dua program di atas bisa berimplikasi pada perubahan kebijakan atau penyusunan regulasi baru khususnya dalam hal kurikulum pendidikan yang memang sudah sepatutnya ditinjau ulang kaitannya dengan pembentukan karakter peserta didik sedari awal tumbuh kembang anak.

Saya masih meyakini bahwa ketika pendidikan bangsa ini dijalankan dengan kualitas kurikulum, kualitas guru dan dosen, profesionalitas seluruh elemen pendidikan, serta kesejahteraan yang menjamin guru dan dosen untuk bisa fokus dan serius memperkuat kompetensi dan kualifikasinya, maka terorisme sebagai anak kandung dari kebodohan dan kemiskinan, akan sirna dengan sendirinya.

Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Malala Yousafzai sebagai aktivis kemanusiaan yang pernah berbenturan langsung dengan episentrum terorisme dunia; “Dengan senapan anda bisa menghentikan para teroris, dengan pendidikan anda bisa menghentikan terorisme”

Penulis :

Ramdan Nugraha
Direktur Lembaga Studi Visi Nusantara
[email protected]