25 radar bogor

Hutanku Nyawaku

RADAR BOGOR – Apa yang terlintas di benak anda ketika mendengar kata “hutan”? Ya, hutan sebagaimana yang kita kenal secara umum. Anak kecil pun tau, apa itu hutan. Sekalipun belum bisa menjelaskan secara istilah dan ilmiah.

Fathia, anak saya yang baru berusia 5 tahun 8 bulan, ketika saya tanya “Kak, kamu tau gak, apa itu hutan?” Dengan lantang dan sedikit tengilnya dia menjawab, “Ya tau lah. Hutan itu yang banyak pohonnya, ayah! Masa ayah gak tau sih?” Lanjutnya dengan nada ketus. Ya, namanya juga anak-anak. Jawaban seperti itu saja sudah hebat untuk ukuran anak seusianya.

“Yah! Kalau hujan, kok bisa banjir, sih?” Dia balit tanya. Agak keki juga saya ditanya seperti itu. Sedikit saya jelaskan sesuai tingkat daya tangkapnya. “Banjir itu terjadi karena curah hujan yang besar, sementara sumber resapan tanahnya sedikit dan juga hutan yang gundul akibat sering ditebangi pepohonannya.

Sehingga, air hujan langsung mengalir karena airnya tidak tersimpan di hutan”. Begitulah jawab saya. Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya.

Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas. Pohon adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. (Wikipedia)

International Day of Forest atau Hari Hutan Sedunia ditetapkan oleh PBB dalam resolusi PBB 67/200 pada 21 Desember 2012, secara singkat penjelasan dari PBB mengenai tujuan memperingati Hari Hutan Sedunia adalah untuk menyadarkan seluruh masyarakat bahwa pentingnya menjaga kelestarian hutan bagi keberlangsungan seluruh makhluk hidup di bumi.

Mulanya hari ini diperingati sebagai World Forestry Day pada tahun 1971, yang mengusulkan ide ini adalah Konferensi Organisasi Pangan dan Pertanian yang ke-16 yang jatuh setiap tanggal 21 Maret.

Peringatan Hari Hutan Internasional harus menjadi perhatian serius pemerintah secara nasional maupun para pemimpin dunia. Karena hutan merupakan paru-parunya dunia yang harus dijaga kelestariannya untuk keberlangsungan kehidupan manusia dan semua makhluk hidup di dunia ini.

Berdasarkan data yang ada, sepanjang tahun terjadi kebakaran hutan di mana-mana. Brasil mencatatkan rekor baru terkait kebakaran hutan yang terjadi di Amazon dan Pantanal. Dilansir AFP, Institut Penelitian Luar Angkasa Nasional

(INPE) Brasil pada Minggu (1/11/2020) mencatat adanya 17.326 titik kebakaran hutan di Amazon pada Oktober 2020. (KOMPAS.com)

BBCNews Indonesia mencatat, Karhutla di negara bagian New South Wales, Australia; kawasan Arktik Siberia; wilayah Pantai Barat Amerika Serikat, dan lahan basah Pantanal di Brasil merupakan yang terburuk dalam 18 tahun terakhir.

Catatan itu merujuk data Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) dan lembaga penyedia data atmosfer, Copernicus Atmosphere Monitoring Service.

Sedangkan di Indonesia sendiri, masih dari sumber yang sama, Lembaga pemantau lingkungan, Greenpeace, menyebut setidaknya 64.000 hektare hutan telah terbakar sampai Juli lalu. Meski begitu, angka itu lebih kecil daripada luas area terdampak tahun 2019.

Kalimantan Tengah menetapkan status siaga darurat karhutla Juli lalu, tak lama setelah 700 titik api terdeteksi di provinsi itu.

Setidaknya lima pemerintah provinsi lain, yaitu Riau, Sumatera Selatan, Kambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan, juga menetapkan status siaga serupa.

Itu baru data kebakarannya, belum lagi eksploitasi dan alih fungsi hutan yang juga marak terjadi di mana-mana. Pembalakan & penebangan hutan yang ilegal pun turut menjadi penyumbang kerusakan hutan. Ini makin menambah data kelam akan rusaknya hutan di dunia.

Jika hal tersebut tidak mendapatkan penanganan dan perhatian serius, maka alam ini akan segera hancur. Jika demikian, punahlah kehidupan. Karena hutan sebagai paru-paru dunia yang menyuplai oksigen bagi setiap makhluk.

Sehingga, penting menata kembali regulasi atau peraturan perundang-undangan yang menjamin kelestarian hutan dan alam.

Dalam Prinsip Internasional, diatur akan pentingnya kesadaran tata kelola kehutanan yang baik dimulai sejak pertemuan pembangunan berkelanjutan yang merupakan hasil dari KTT Bumi di Rio de Jainero pada tahun 1992, yang tercantum dalam “Forest Principle 19” yang memberikan arahan pembangunan sumberdaya hutan secara holistik bagi seluruh elemen ekosistem demi keberlanjutan.

Meskipun “Forest Principle” tidak bersifat mengikat secara hukum (non legally binding), tetapi prinsip ini merupakan norma dasar bagi tata kelola yang harus dilaksanakan oleh negara-negara yang menandatanganinya.

Dalam regulasi nasional, terdapat Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, ini merupakan pengganti dari Undang-Undang nomor 5/1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan.  Undang-undang nomor 41/1999 membawa nuansa pengaturan yang memiliki perbedaan mendasar dengan masukkan peran serta masyarakat, hak masyarakat atas informasi kehutanan dan keterlibatan dalam pengelolaan hutan secara umum.

Dalam undang-undang ini terdapat dua status hutan yaitu hutan negara dan hutan hak. (www.mongabay.co.id) Ternyata adanya regulasi saja tidak cukup untuk menjamin kelestarian hutan dan alam.

Pun hadirnya para aktivis dan pegiat lingkungan juga tidak akan maksimal tanpa adanya kesadaran dari semua pihak. Terlebih dari para pemangku kebijakan agar dapat memperketat perizinan pembukaan lahan dan meninjau kembali izin yang sudah dikeluarkan, jika terbukti ada indikasi abai dan menyimpang dari aturan tata kelola lahan dan hutan, maka pemerintah wajib untuk mencabut izin dan menindaknya secara tegas, sehingga dapat meminimalisir dampak kerusakan hutan. Demi keberlangsungan kehidupan anak bangsa di masa depan.

Selamat Hari Hutan Internasional 21 Maret 2021. Hutanku, nyawaku.

Oleh Asep Saepudin

(Penulis adalah anggota Komisi Perlindungan Anak Daerah Kabupaten Bogor dan Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat)