25 radar bogor

Sekolah Daring, 4 dari 10 Anak Sulit Kerjakan PR

Ilustrasi pembelajaran jarak jauh (PJJ) (Dok/JawaPos.com)
Ilustrasi pembelajaran jarak jauh (PJJ) (Dok/JawaPos.com)

JAKARTA-RADAR BOGOR, Setelah berjalan sekitar setahun, pembelajaran jarak jauh (PJJ) di tengah pandemi Covid-19 masih menemui kendala. Catatan Save the Children Indonesia, delapan di antara sepuluh anak tidak bisa mengakses bahan ajar secara memadai selama menjalani PJJ.

CEO Save the Children Indonesia Selina Patta Sumbung menjelaskan, Global Save the Children sudah melakukan studi di 46 negara, termasuk Indonesia. Hasil studi itu mengindikasikan bahwa terdapat delapan di antara sepuluh anak yang tidak bisa mengakses bahan pembelajaran yang memadai.

”Lalu, empat di antara sepuluh anak sulit memahami pekerjaan rumah. Dan, fakta bahwa minimal 1 persen anak tidak belajar apa pun selama PJJ,” jelasnya kemarin (14/3).

Selama pandemi Covid-19, diperkirakan lebih dari 600 ribu sekolah di Indonesia harus tutup. Dampaknya, 60 juta siswa harus belajar dari rumah. Meski di daerah tertentu sekolah tatap muka di kelas boleh kembali dibuka, sebagian besar siswa masih menjalani PJJ, baik secara online maupun offline.

Menurut Selina, 2021 menjadi tahun yang menentukan. Anak-anak tetap mendapatkan akses belajar berkualitas atau tidak. Sebab, kata dia, pendidikan merupakan hak anak yang harus dipenuhi.

Dia mengakui, penerapan PJJ bukan hal yang mudah. Anak, guru, dan orang tua menghadapi sejumlah tantangan. Misalnya, terbatasnya materi, alat, akses ke pembelajaran dan pengajaran, serta infrastruktur yang tidak merata. Infrastruktur itu meliputi akses internet dan listrik.

Selina mengungkapkan, pandemi Covid-19 yang berakibat sekolah tatap muka terhenti muncul tiba-tiba. Sebelumnya, tidak ada persiapan sama sekali bagi sebagian besar guru untuk menjalankan pembelajaran secara jarak jauh. Kondisi itu menjadi masalah tersendiri dalam pelaksanaan PJJ. Kapasitas orang tua serta kemampuan anak beradaptasi dan belajar mandiri juga berbeda-beda.

Persoalan dalam pelaksanaan PJJ itu menimbulkan dampak terhadap pendidikan di Indonesia. Misalnya, menurunnya motivasi belajar anak. Bahkan, motivasi untuk kembali belajar di sekolah berpotensi merosot. Lalu, terjadi penurunan kemampuan literasi dan numerasi. Belum lagi ancaman putus sekolah karena anak harus bekerja atau menikah dini. Kualitas pendidikan yang menurun tersebut dapat memengaruhi kesempatan peserta didik mengakses pendidikan tinggi atau pekerjaan pada masa depan.

Untuk mengatasi persoalan dalam pelaksanaan PJJ itu, Save the Children Indonesia menyebut perlu penguatan resiliensi atau beradaptasi dan bertahan serta inovasi pembelajaran. Dengan begitu, anak tetap belajar dengan kualitas yang terjamin. Pembelajaran bisa memadukan kegiatan tatap muka dengan online atau disebut hybrid. Karena itu, diperlukan dukungan program peningkatan kompetensi guru dari pihak sekolah, pemerintah daerah, sampai tingkat pusat.

Perwakilan Children & Youth Advisory Network (CYAN) Save the Children Indonesia Stella menjelaskan, teman-temannya yang tinggal di desa susah mendapatkan sinyal internet. ”Banyak sekali di antara mereka yang tidak punya HP. Jadi, kadang sama mereka sekali tidak belajar,” kata anak 15 tahun asal NTT tersebut.

Di bagian lain, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, dalam dunia yang berubah dengan cepat, kreativitas dan inovasi adalah kunci. Perguruan tinggi harus menjawab tantangan tersebut. ”Kita tidak boleh terjebak dengan cara biasa-biasa saja,” tuturnya.

Mantan gubernur DKI Jakarta itu menambahkan, saat ini pasar tenaga kerja juga mengalami perubahan yang sangat drastis. Banyak jenis pekerjaan lama yang hilang dan tidak dibutuhkan. ”Ini membutuhkan perubahan program studi, kurikulum, dan karakter dosen,” ujarnya.

Editor : Rany P Sinaga
Sumber : Jawapos