25 radar bogor

Pemerintah Mau Impor Beras, Faisal Basri: Jangan Ulangi Kesalahan 2018

Pengamat ekonomi Faisal Basri (Dok.JawaPos.com)
Pengamat ekonomi Faisal Basri (Dok.JawaPos.com)

JAKARTA-RADAR BOGOR, Ekonom Senior Faisal Basri mengkritisi rencana pemerintah yang akan mengimpor beras sebanyak satu juta ton tahun ini untuk meningkatkan cadangan beras pemerintah (CBP) dan separuh lagi untuk memenuhi kebutuhan Bulog.

Rencana impor beras itu dipaparkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian minggu lalu. Bahkan Menteri Perdagangan mengakui telah memiliki jadwal untuk mewujudkan rencana impor itu.

Faisal mengingatkan pemerintah tidak mengulangi kesalahan pada 2018 lalu. Dengan tingkat produksi yang bisa dikatakan tidak buruk, lonjakan impor sepanjang tahun 2018 mengakibatkan stok yang dikuasai oleh pemerintah untuk PSO/CBP naik hampir 4 juta ton sedangkan penyalurannya anjlok dari 2,7 juta ton menjadi 1,9 juta ton.

Akibatnya, lanjutnya, stok beras melonjak lebih dua kali lipat dari 0,9 juta ton pada akhir 2017 menjadi 2 juta ton pada akhir 2018. Kondisi ini membuat Bulog kewalahan mengelola stok sebanyak itu. Kualitas beras yang dikelolanya merosot, bahkan ada yang menjadi tidak layak konsumsi.

“Ongkos uang mati pun tentu saja meningkat. Yang lebih mendasar lagi, kemampuan Bulog menyerap beras dari petani menjadi terbatas,” ujarnya seperti dikutip di halaman websitenya, Senin (15/3).

Meskipun kala itu memang butuh impor untuk stabilisasi harga menjelang pemilu, namun kata dia, jumlahnya melebihi kebutuhan. “Tak ayal, harga gabah kering di tingkat petani sempat merosot ke titik terendah dalam 9 bulan terakhir,” imbuhnya.

Faisal menuturkan, penyebab lain dari penurunan harga adalah waktu pelaksanaan impor yang ganjil dimana impor relatif tinggi ketika masa panen atau tatkala terjadi surplus (produksi lebih besar dari konsumsi) dan sangat sedikit ketika sedang mengalami defisit (konsumsi lebih besar dari produksi).

“Tahun ini pengalaman buruk 2018 berpotensi kembali terulang. Pengumuman impor beras sebanyak 1 juta ton secara langsung memengaruhi psikologi pasar yang cenderung menurunkan harga jual di tingkat petani. Apalagi petani sedang menyongsong masa panen raya (April-Mei),” ungkapnya.

Faisal memaparkan, pengumuman impor saja harga gabah di tingkat petani sudah cenderung tertekan. Sekalipun harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani pada Januari 2021 naik 3 persen dibandingkan Desember 2020, namun masih lebih rendah dibandingkan Januari tahun lalu (year-on-year) atau turun sebesar 6,7 persen. Untuk harga gabah kering giling (GKG) lebih parah lagi, yaitu turun 0,73 persen dibandingkan bulan sebelumnya (Desember 2020) dan turun tajam sebesar 8,28 persen dibandingkan Januari 2020.

“Berbeda dengan harga gula yang sempat meroket tahun lalu, harga eceran beras setahun terakhir bisa dikatakan sangat stabil. Demikian juga dengan harga beras di tingkat penggilingan maupun harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani. Jadi berbeda dengan kondisi tahun 2018 yang sempat melonjak pada awal tahun,” tuturnya.

Menurutnya, harga beras di Indonesia juga lebih stabil dari harga beras di pasar internasional yang mengacu pada harga beras Thailand maupun Vietnam. Sejak akhir 2019 harga beras Vietnam meningkat tajam, dari USD 325,79/mt (setara dengan Rp 4.724 per kg), pada Oktober 2019 menjadi USD 500,48/mt atau setara Rp 7.256 per kg pada Februari 2021, dengan kurs Rp 14.500 per USD. Sementara beras Thailand naik dari USD 421/mt atau setara Rp 6.105 per kg pada November 2019 menjadi USD 557/mt atau setara Rp 8.077 per kg pada Februari 2021.

“Boleh jadi harga beras di pasaran internasional akan terus naik jika pembeli besar baru (new big buyer) masuk pasar. Pada tahun 2018 Indonesia merupakan pengimpor terbesar kedua dan tahun 2011 paling besar di dunia. Wajar jika para pengekspor beras utama dunia mencermati dengan seksama kebijakan perberasan Indonesia,” ucapnya.

Selain itu, Faisal juga menyebut, bagi-bagi kuota impor sudah lama menjadi kelaziman dalam berbagai komoditas strategis seperti beras, gula, garam, daging, dan bawang putih. Pemicunya adalah selisih harga yang relatif lebar antara harga domestik dan harga internasional. Lebih menggiurkan lagi, volume impornya relatif sangat besar, mencapai jutaan ton untuk tiga komoditas pertama.

Salah satu kondisi ekstrem terjadi pada Oktober 2019. Harga beras eceran di Indonesia kala itu Rp 13.978 per kg. Pada waktu yang sama, harga beras Vietnam setara dengan Rp 4.561. Selisih harga yang lebih dari tiga kali lipat itu amat menggiurkan.

Seandainya dibandingkan dengan harga eceran tertinggi untuk beras medium di Jawa (Rp 9.450 per kg), selisihnya dengan beras Vietnam masih dua kali lipat. “Katakanlah beras impor Vietnam sampai di pasar domestik menjadi Rp 7.000 per kg, keuntungan yang diraup setidaknya Rp 2.500 per kg. Dikalikan dengan 1 juta ton, maka keuntungan bersih bisa mencapai Rp 2,5 triliun,” ungkapnya.

Faisal menambahkan, banyak berita baik untuk membuat rasa optimis produksi beras akan meningkat. Pertama, di tengah pandemi Covid-19, sektor pertanian masih bisa mencatatkan pertumbuhan positif. Bahkan, subsektor tanaman pangan tumbuh positif 3,54 persen, tertinggi dalam lima tahun terakhir.

Kedua, BPS mengumumkan bahwa potensi produksi beras Januari-April tahun ini mencapai 14,54 juta ton, meningkat sebanyak 3,08 juta ton atau 26,84 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ini tak lepas dari kenaikan potensi luas panen yang cukup menjanjikan yaitu sebesar 1 juta hektar selama periode yang sama dibandingkan tahun lalu. Ditopang pula oleh potensi kenaikan produktivitas.

“Jika pasokan pupuk terjaga dan tepat waktu niscaya produksi dan produktivitas masih bisa ditingkatkan. Semakin optimis lagi dengan telah kian banyaknya proyek pembangunan bandungan dan saluran irigasi yang sudah rampung,” katanya.

Stok akhir pada akhir 2020 memang di bawah 1 juta ton, mirip dengan kondisi akhir 2017. Namun, kata dia, peningkatan produksi yang cukup tajam, khususnya pada April-Mei, sudah di depan mata. Masih ada waktu yang cukup pula untuk mengamankan peningkatan produksi sampai akhir tahun ini.

“Stok tidak perlu lagi sebanyak tahun-tahun sebelumnya karena penugasan untuk penyaluran CBP yang bersifat rutin tidak lagi sebesar sebelumnya,” tutupnya.

Editor : Rany P Sinaga
Sumber : Jawapos