25 radar bogor

Redam Kasus Terkait UU ITE, Polri Bentuk Satuan Polisi Virtual

Kapolri
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
Kapolri
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.

JAKARTA-RADAR BOGOR, Polri berupaya mengerem maraknya pemidanaan dengan menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Salah satu upayanya, membentuk satuan khusus virtual police di Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri.

Tugas satuan khusus tersebut adalah mengedukasi warganet yang terindikasi melanggar pasal-pasal pidana di UU ITE.

”Begitu ada kalimat yang kurang pas, langgar UU ITE, virtual police yang tegur dan menjelaskan bahwa Anda berpotensi melanggar pasal sekian dengan ancaman hukuman sekian,” kata Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam rapim Polri kemarin.

Sigit juga memerintah Dittipidsiber untuk membatasi proses perkara dengan menggunakan UU ITE. Caranya, mewajibkan korban melapor langsung kepada penyidik tanpa perlu diwakili. Dengan begitu, tidak ada lagi kejadian asal lapor. Selain itu, bila hal yang dilaporkan tidak berpotensi konflik horizontal, laporan tersebut cukup ditindaklanjuti dengan mediasi. ”Jadi, proses mediasi. Mediasi nggak bisa, nggak usah ditahan,” tegasnya.

DPR menyambut baik usulan Presiden Joko Widodo untuk merevisi Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Perubahan UU itu bisa dimasukkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021.

Anggota Komisi I DPR Abdul Kadir Karding menyatakan, usulan Jokowi untuk merevisi UU 11/2008 merupakan bentuk kejelian presiden dalam melihat fakta di masyarakat bahwa banyak orang tidak bersalah yang dijerat UU tersebut. Itu, kata Karding, juga menunjukkan komitmen Jokowi pada keadilan. ”Jangan sampai UU tersebut menjadi alat untuk menjerat orang-orang yang tidak perlu dihukum hanya karena multitafsirnya UU itu,” tuturnya kepada Jawa Pos kemarin (16/2).

Menurut Karding, DPR harus segera merespons usulan presiden. DPR harus melakukan kajian yang mendalam terhadap persoalan UU ITE. Lewat usulan itu, presiden berharap tidak ada lagi orang tidak bersalah yang dijerat UU tersebut.

Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya menuturkan, revisi UU ITE bisa diusulkan masuk dalam prolegnas prioritas 2021. Sebab, sampai sekarang prolegnas belum ditetapkan. Jadi, masih ada waktu untuk mengusulkannya. Tentu, kata dia, DPR dan pemerintah bisa mengadakan rapat kerja (raker) untuk membahas usulan tersebut.

Politikus Partai Nasdem itu menjelaskan, revisi UU ITE bisa diusulkan pemerintah atau DPR. Hal tersebut bergantung pembicaraan antara dewan dan pemerintah. Willy mengungkapkan, dalam waktu dekat, pihaknya berkomunikasi dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly untuk membahas siapa yang akan mengusulkan revisi UU ITE. ”Selama ini Fraksi Partai Nasdem dan PKS yang getol menyuarakan revisi UU ITE,” ungkap legislator asal Dapil Jatim XI tersebut.

Fraksi PKS pun menyetujui keinginan Presiden Jokowi untuk mengevaluasi UU ITE. Mereka sependapat bahwa UU ITE tidak memberikan rasa keadilan karena adanya pasal karet. Wakil Ketua Fraksi PKS Sukamta menyatakan bahwa rencana itu sejalan dengan usulan fraksi beberapa tahun terakhir. ”Rencana ini sejalan dengan pandangan kami mengusulkan revisi UU ITE dalam prolegnas meski kandas akibat kurangnya dukungan di parlemen,” jelas Sukamta kemarin.

Setelah adanya pernyataan presiden, anggota komisi I itu berharap usulan tersebut mendapat perhatian di legislatif. Sukamta menjelaskan, pada awal pembahasan UU ITE dulu, sebenarnya tujuan utamanya adalah memberikan kepastian hukum bagi pelaku ekonomi dan bisnis di dunia maya atau elektronik. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, pada implementasinya, UU itu lebih kental nuansa hukum pencemaran nama baik daripada soal transaksi ekonomi bisnis.

Masalah terbesar ada pada pasal 27 ayat 3 yang kerap dijadikan alat untuk mengkriminalisasi masyarakat dengan dalih pencemaran nama baik. Pasal tersebut sempat diusulkan untuk diubah pada 2016. Sukamta termasuk dalam panitia kerja (panja) revisi. Dia mengungkapkan, pada dinamika pembahasan, mayoritas fraksi menginginkan pasal itu tetap dipertahankan.

Dengan adanya arahan dari presiden soal UU ITE tersebut, dia berharap revisi terhadap pasal karet itu kembali mendapat perhatian. ”Semoga, ke depannya, revisi UU ITE bisa memberikan kejelasan hukum berasaskan keadilan. Insya Allah, kami Fraksi PKS akan mengawalnya demi masa depan dunia digital dan kedewasaan demokrasi kita,” tuturnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) meningkatkan pengawasan implementasi terhadap penegakan UU ITE. Jokowi meminta implementasi undang-undang itu dapat berjalan secara konsisten, akuntabel, dan menjamin rasa keadilan bagi masyarakat. ”Harus menjalankan hukum yang seadil-adilnya dan melindungi kepentingan yang lebih luas,” ujarnya.

Jokowi menegaskan, belakangan UU ITE kerap menjadi rujukan hukum dalam pelaporan hukum. Akibatnya, proses hukum dianggap tidak memenuhi rasa keadilan. Karena itu, mantan gubernur DKI Jakarta tersebut meminta seluruh jajaran kepolisian lebih selektif dalam menerima laporan yang berdasar UU ITE.

Jokowi berpendapat, pasal-pasal di UU ITE multitafsir. Jadi, penegak hukum harus berhati-hati dalam menerjemahkannya. Selain itu, Jokowi meminta DPR merevisi UU ITE. ”Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda dan mudah diinterpretasikan secara sepihak,” katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengakui bahwa UU ITE memang sangat perlu direvisi. Namun, kata dia, serangan terhadap kebebasan berpendapat selama ini bukan hanya gara-gara adanya UU ITE. ”Presiden juga perlu perintahkan ke Kapolri untuk cabut telegram rahasia yang aneh-aneh,” tegasnya kepada Jawa Pos.

Sebagaimana diketahui, Kapolri beberapa kali mengeluarkan telegram rahasia (TR) terkait dengan penanganan massa. Salah satunya terbit saat massa gabungan berunjuk rasa menolak omnibus law pada Oktober tahun lalu.

TR terkait dengan penanganan dan antisipasi unjuk rasa serta mogok kerja yang melibatkan massa dari elemen buruh itu seolah menjadi pedoman aparat kepolisian di lapangan untuk membubarkan massa dengan cara represif dan cenderung brutal.

Asfin –sapaan Asfinawati– menyebutkan, YLBHI mencatat sejauh ini ada 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Mulai Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jogjakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, hingga Papua. Kasus-kasus tersebut didominasi pelanggaran hak berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum. (*)

Reporter : Arifal
Editor : Yosep