25 radar bogor

JK Prihatin Kritik Dibales Buzzer, eks TKN: Ini Tak Boleh Terjadi

Jusuf Kalla tolak Pemilu 2024 Ditunda
Jusuf Kalla Tolak Wacana Penundaan Pemilu 2024
Jusuf Kalla (Dok. JawaPos.com)
Jusuf Kalla (Dok. JawaPos.com)

JAKARTA-RADAR BOGOR, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mempertanyakan soal kebebasan berpendapat masyarakat. Karena bagaimana rakyat akan memberi kritik kepada pemerintah atau presiden, kalau baru bertanya saja sudah diserang buzzer.

Merespons hal itu, mantan koordinator Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf Amin Hendra Setiawan Boen mengatakan, dirinya sepakat dengan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang mempertanyakan kritik tanpa dipolisikan.

“JK adalah Wakil Presiden untuk dua presiden termasuk Jokowi. Apabila seorang mantan wakil presiden menyampaikan kritik tidak bebas dari serangan buzzer dan tuduhan memanas-manasi, bagaimana dengan rakyat biasa,” papar Hendra dalam keterangannya, di Jakarta, Selasa (16/2/2021).

Hendra berpendapat, fenomena merosotnya demokrasi di era pemerintahan Jokowi jilid II, akibat ulah buzzer dan aksi main lapor dari salah satu pendukung tokoh politik kepada pihak yang dinilai lawan politik, sudah sangat kasat mata.

“Bahkan saya dengar terakhir ada yang melaporkan penerbit buku ke polisi hanya karena pencantuman tokoh Pak Ganjar yang kebetulan mirip dengan gubernur Jawa Tengah incumbent. Ini aneh banget,” ujar Hendra.

 Padahal, lanjut, Pak Ganjar Pranowo sendiri tidak mempermasalahkan dan buku tersebut ditulis empat tahun, sebelum Pak Ganjar Pranowo menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah. Tindakan lapor melapor semacam ini, seharusnya tidak dilakukan dan tidak berfaedah.

“Karena, apabila Pak Ganjar Pranowo memang merasa dirugikan, beliau bisa membuat laporan sendiri,” jelas Hendra.

Lebih lanjut, Hendra juga mendukung penuh rencana pemerintah melakukan revisi terhadap pasal karet dalam UU ITE. Namun demikian, Hendra menambahkan masih ada beberapa hal yang harus dilakukan agar demokrasi di Indonesia tidak tambah merosot.

“Pertama adalah pencabutan Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Aturan ini dibuat pada masa revolusi fisik dan malah digunakan pada era modern dan penuh keterbukaan seperti sekarang,” papar dia.

Semisal, kata Hendra, UU ITE dipakai untuk mempidana orang dengan alasan menyebar kabar bohong yang menyebabkan keonaran di masyarakat. Padahal, aturan tersebut tidak memberikan definisi jelas apa yang dimaksud dengan kabar bohong dan keonaran di masyarakat sehingga penafsirannya menjadi lentur seperti karet.

Hendra juga meminta agar aparat penegak hukum menggunakan pasal ujaran kebencian secara selektif. Ujaran kebencian termasuk tindak kejahatan luar biasa karena berdasarkan sejarah banyak terjadi genosida yang dimulai dari ujaran-ujaran berkenaan dengan identitas kelompok yang berdasarkan agama, suku, golongan dan ras.

“Yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, terjadi penyempitan kepada arti ujaran kebencian. Sekarang orang dengan mudah mengatakan lontaran kata kasar atau kata yang tidak disukai walaupun tidak berdasarkan SARA sebagai ujaran kebencian dan kemudian menjadi delik pidana. Ini harus diluruskan,” terang Hendra.

Hendra juga menuturkan, penegakan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006 tentang pasal-pasal penghindaan Presiden.

“Jangan ada lagi upaya membuat peraturan atau melakukan proses hukum yang bertentangan dengan apa yang sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Sebagai negara hukum kita harus belajar tunduk kepada konstitusi negara walaupun mungkin isi putusan tidak sesuai kepentingan,” tuturnya. (*)

Sumber : jawapos.com
Editor : Yosep