25 radar bogor

Jokowi Ingin Revisi UU ITE, Jangan Sebatas Retorika

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal disuntikan vaksin Covid-19 untuk pertama kalinya pada Rabu (13/1) ini. Penyuntikan tersebut rencananya disuntikan di Istana Merdeka. (dok JawaPos.com)
Presiden Joko Widodo (Jokowi). (dok JawaPos.com)

JAKARTA-RADAR BOGOR, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mendukung pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang membuka wacana Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Wacana ini diharapkan tidak hanya sebatas pernyataan belaka, yang tidak ada realisasinya.

“Pernyataan tersebut tidak boleh sebatas pernyataan retorik ataupun angin segar demi populisme semata. Pernyataan tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkrit,” kata Koordinator SAFEnet, Damar Juniarto saat dihubungi JawaPos.com, Selasa (16/2).

Damar menilai, pemerintah harus memperhatikan beberapa aspek jika ingin serius mengubah UU ITE. Salah satunya yakni pasal – pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE harus benar-benar dihapus.

“Rumusan pasal-pasal dalam UU ITE, yang sudah diatur dalam KUHP, justru diatur secara buruk dan tidak jelas rumusannya disertai dengan ancaman pidana lebih tinggi,” imbuhnya.

Pasal-pasal duplikasi ini seperti Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang memuat unsur melanggar kesusilaan. Pasal ini sebetulnya sudah diatur dalam Pasal 281 dan pasal 282 KUHP dan atau UU Pornografi. Pasal 27 ayat (1) UU ITE ini justru dianggap menyerang kelompok yang seharusnya dilindungi, dan diterapkan berbasis diskriminasi gender.

Kemudian Pasal 27 ayat (3) juga kerap kali digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di dunia maya. Meskipun dalam penjelasan telah dirujuk ke Pasal 310 dan Pasal 311, namun dalam praktik seringkali diabaikan, sebab unsur penghinaan masih terdapat di dalam pasal.

Contoh lainnya yakni, pasal tentang penyebaran informasi yang menimbulkan penyebaran kebencian berbasis SARA sebagaimana diatur dalam 28 ayat (2) UU ITE. Pasal ini dianggap tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal tentang propaganda kebencian. Pasal ini justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah. Lebih memprihatinkan pasal ini dinilai kerap digunakan untuk membungkam pengkritik Presiden, maupun pemerintah.

Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan, sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8 persen (744 perkara). Dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88 persen (676 perkara).

“Laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis,” tegas Damar.

“Revisi UU ITE, khususnya dalam tindak pidana penghinaan dan tindak pidana penyebaran berita bohong, harus dijamin tidak terjadi duplikasi yang menyebabkan tumpang tindih sehingga berakibat bertentangan dengan kepastian hukum. Pasal-pasal tersebut harus disesuaikan dengan ketentuan dalam RKUHP yang akan dibahas,” tandasnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Kapolri untuk meningkatkan pengawasan agar implementasi terhadap penegakan UU ITE tersebut dapat berjalan secara konsisten, akuntabel, dan menjamin rasa keadilan di masyarakat.

“Negara kita adalah negara hukum yang harus menjalankan hukum yang seadil-adilnya, melindungi kepentingan yang lebih luas, dan sekaligus menjamin rasa keadilan masyarakat,” ujar Jokowi.

Dalam kesempatan tersebut kepala negara menuturkan pandangannya bahwa belakangan ini banyak masyarakat yang saling membuat laporan dengan menjadikan UU ITE sebagai salah satu rujukan hukumnya. Hal ini sering kali menjadikan proses hukum dianggap kurang memenuhi rasa keadilan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Jokowi memerintahkan Kapolri Sigit beserta seluruh jajarannya untuk lebih selektif dalam menyikapi dan menerima pelaporan yang menjadikan undang-undang tersebut sebagai rujukan hukumnya.

Namun, apabila keberadaan undang-undang tersebut dirasakan belum dapat memberikan rasa keadilan, Presiden Jokowi bahkan menegaskan akan meminta kepada DPR untuk bersama merevisi UU ITE sehingga dapat menjamin rasa keadilan di masyarakat.

Sumber: JawaPos.Com
Editor: Alpin