25 radar bogor

Ingat, Tolak Divaksin Terancam Denda atau Kurungan

Ilustrasi vaksin kosong
Ilustrasi vaksin kosong
Ilustrasi vaksin
Ilustrasi vaksin

JAKARTA-RADAR BOGOR, Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa sanksi yang dicantumkan dalam Perpres No 14 Tahun 2021 merupakan langkah terakhir. Termasuk denda dan kurungan yang disesuaikan dengan UU Pengendalian Wabah.

Juru Bicara Vaksin Covid-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menuturkan, vaksinasi Covid-19 bertujuan secara bersama keluar dari pandemi. ”Vaksin ini bukan hanya kepentingan pribadi, tapi juga kepentingan masyarakat secara bersama,” ungkapnya.

Dia menegaskan, jika ada yang tidak mau divaksin, berarti dia membahayakan masyarakat lain. Karena itu, pemerintah harus bertindak tegas.

Besaran denda bagi penolak vaksin disesuaikan dengan peraturan daerah. Di Jakarta, misalnya, berlaku denda Rp 5 juta rupiah bagi penolak vaksin dalam ketentuan Pasal 30 Perda Nomor 2 Tahun 2020. Sedangkan pidana badan berupa kurungan maksimal 6 bulan ditetapkan di UU Pengendalian Wabah yang berlaku sejak 1984.

Sementara itu, keputusan pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 mendapat sorotan. Perpres yang mengatur sanksi bagi warga yang menolak vaksinasi itu dianggap menabrak UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Perpres 14/2021 menyebutkan kewajiban vaksinasi. Merujuk pasal 13A ayat 2, setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 berdasar pendataan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) wajib mengikuti vaksinasi. Kecuali jika penerima vaksin tidak memenuhi kriteria sesuai dengan indikasi vaksin yang tersedia.

Jika mereka tidak mengikuti vaksinasi, pemerintah menetapkan tiga macam sanksi. Pertama, penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial (bansos).

Kedua, penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan. Ketiga, sanksi denda. Selain itu, setiap orang yang menolak divaksin bisa dijerat dengan UU tentang Wabah Penyakit Menular. Dalam UU tersebut, ada ketentuan pidana bagi yang sengaja menghalangi penanggulangan wabah.

Pengamat jaminan sosial Timboel Siregar menyatakan bahwa ancaman pencabutan jaminan sosial itu tidak tepat karena melanggar UU SJSN. Khususnya pasal 20 ayat 1. UU tersebut menjelaskan kewajiban membayar iuran. Tidak tertera terkait dengan vaksin. ”Bila sudah membayar iuran JKN, seseorang berhak mendapat pelayanan JKN,” ujar koordinator advokasi BPJS Watch tersebut.

Timboel menegaskan, orang yang menolak divaksin tidak boleh dilarang mendapat pelayanan JKN. Apalagi, secara hierarki hukum, kedudukan perpres di bawah UU. ”Sanksi di perpres itu melanggar isi UU,” tegasnya. Dia menyarankan agar jenis sanksi direvisi.

Pasien Positif Tidak Selalu Menular

Pandemi Covid-19 sudah berjalan hampir setahun di Indonesia. Namun, masih ada permasalahan terkait dengan pemahaman kesembuhan pasien Covid-19. Selama ini masih ada penderita Covid-19 yang menanti hasil PCR dari positif menjadi negatif.

Padahal, mereka sudah menjalani isolasi dan bebas dari gejala. Menurut dokter spesialis paru Erlina Burhan, hal itu tidak perlu dilakukan. ”Bila sudah lewat 21–28 hari, meski masih positif, tapi tidak ada gejala, sebetulnya sudah tidak menular,” jelasnya.

Dia mengajak pasien, penyintas, maupun orang di sekitar pasien Covid-19 tidak terlalu memusingkan hasil PCR negatif dan CT value Covid-19. ”Tidak usah terlalu dipikirkan,” katanya.

Selama tidak bergejala dan sudah menjalani isolasi sesuai dengan ketentuan, pasien Covid-19 tidak perlu panik meski hasil tes masih positif. Sebab, virusnya sudah tidak bisa menular walau masih terdeteksi alat tes PCR.

Sumber: JawaPos.Com
Editor: Alpin