25 radar bogor

Mentri KLHK Sebut Banjir Kalimantan Selatan Karena Anomali Cuaca, Begini Respon BEM KM IPB

BEM-IPB
Diskusi berjudul “Penyebab Banjir di Kalimantan Selatan : Anomali Cuaca atau Anomali Lahan?” yang digelar BEM IPB via zoom, Selasa (2/2./2021).
BEM-IPB
Diskusi berjudul “Penyebab Banjir di Kalimantan Selatan : Anomali Cuaca atau Anomali Lahan?” yang digelar BEM IPB via zoom, Selasa (2/2./2021).

BOGOR-RADAR BOGOR, BEM IPB menggelar diskusi berjudul “Penyebab Banjir di Kalimantan Selatan : Anomali Cuaca atau Anomali Lahan?” via zoom, Selasa (2/2./2021).

Diskusi tersebut sebagai respon dari tulisan mentri KLHK Siti Nurbaya dalam akun Twitternya pada 20 Januari 2021.

Dalam cuitannya, Mentri KLHK Siti Nurbaya menegaskan bahwa banjir di Kalimantan Selatan terjadi karena adanya anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di DAS Barito.

“KLHK Selaku pemegang mandat walidata pemantauan sumberdaya hutan, menjelaskan, penyebab banjir kalsel (karena) anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di DAS Barito wilayah Kalsel,” dikutip dari akun twitternya @SitiNurbayaLHK, Rabu (20/1/2021).

Ruang diskusi via Zoom Meeting itu dihadiri oleh tiga narasumber yakni Edo Rahman dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Aldila Isfandiary dari Greenpeace Indonesia dan Eko Cahyono dari Sajogyo Institue.

Dalam ruang diskusi tersebut, Mentri Koordinator Sosial Politik BEM KM IPB, Canta Bayu Laksana menyampaikan pada sambutannya bahwa cuaca bukanlah menjadi faktor tunggal terjadinya suatu bencana, sehingga dimungkinkan bahwa bencana terjadi karena ada faktor pendukung lainnya.

Selain itu, dari tahun ke tahun, deforestasi hutan di daerah Kalimantan semakin mengkhawatirkan dan ditambah dengan rencana pemindahan ibukota yang dikhawatirkan memperparah keadaan mengingat bahwa, Kalimantan merupakan salah satu penopang oksigen dunia.

Edo Rahman selaku pembicara dari WALHI, dalam kesempatan berbicaranya mengatakan bahwa anomali cuaca atau krisis iklim sebenarnya juga terjadi karena ulah manusia yang ada di bumi, seperti peristiwa eksploitasi SDA salah satunya.

“Perubahan iklim yang ada hari ini memang karena ulah manusia yang ada di bumi ini, nah kalau kita mengambil dalam konteks Indonesia, begitu banyaknya proses-proses eksploitasi SDA yang terjadi hari ini, karena kemungkinan besar Indonesia masih menitikberatkan bahwa SDA di Indonesia adalah komoditi yang memang untuk mendukung pembangunan atau pertumbuhan ekonomi,” tegas Edo Rahman.

Selain tanggapan dari pihak WALHI mengenai krisis iklim yang terjadi, Greenpeace Indonesia juga memberikan respon dalam ruang diskusi tersebut mengenai kebijakan pemerintah yang dikeluarkan.

Menurutnya, kondisi Kalimantan Selatan sayangnya akan semakin parah dengan disahkannya dua undang-undang baru yakni UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang justru akan mempermudah praktik para pebisnis batubara.

Dalam UU Minerba contohnya, pada peraturan terdahulu UU No. 4/2009 disebutkan bahwa luas WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 15.000 hektar (pasal 62), sedangkan dengan dikeluarkannya UU Minerba, luas operasional produksi bisa disesuaikan dengan luas lahan yang terkini dimiliki oleh perusahaan hanya dengan mendapatkaan persetujuan dari mentri (pasal 169A Ayat (2) Poin B).

Menambahkan poin dalam diskusi tersebut, pembicara dari Sajogyo Institue, Eko Cahyono memberikan paparan mengenai solusi dari jenis permasalahan yang dihadapi.

Ia mengatakan bahwa permasalahan dengan perspektif modernisasi ekologi yang akar masalahnya terletak pada perilaku manusia dan teknologi yang tidak ramah lingkungan dapat diselesaikan dengan mengubah/adaptasi perilaku dan mengubah teknologi menjadi lebih ramah lingkungan.

Sedangkan Ketika penyelesaian permasalahan melalui perspektif ekonomi-politik ekologi yang akar masalahnya adalah un-equal power relation (Lokal-Nasional-Global) yang bersifat struktural, maka solusi yang dapat digunakan adalah perubahan dan perombakan ketimpangan struktural dan transformasi sosial-ekonomi-politik. (*/ysp)

Editor : Yosep