25 radar bogor

Sudah Saatnya Pemerintah Tetapkan OPM Sebagai Organisasi Teroris

OPM
Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TNPPB) menjadi kelompok yang bertanggung jawab atas keerasan di provinsi paling tidur di Indonesia itu. (istimewa)
OPM
Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TNPPB) menjadi kelompok yang bertanggung jawab atas keerasan di provinsi paling tidur di Indonesia itu. (istimewa)

PAPUA-RADAR BOGOR, Pemerintah diminta menetapkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai organisasi teroris. Pasalnya, tindakan kelompok bersenjata itu selama ini tidak hanya menyuarakan perlawanan terhadap negara, namun juga melakukan aksi teror terhadap warga di Papua.

“OPM selama ini menolak secara tegas Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan meminta agar Papua merdeka penuh dari Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP) Efriza dalam webinar bertajuk “OPM sebagai Organisasi Teroris”.

Menurut Efriza, sudah sangat layak apabila OPM ditautkan sebagai organisasi teroris karena aksi yang dilakukan selama ini bukan hanya memakan korban dari kalangan aparat keamanan tapi juga masyarakat Papua.

Dia juga mengingatkan, masyakarat aksi teror yang dilakukan OPM misalnya Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) OPM daerah 8 Intan Jaya membakar pesawat misionaris milik PT. MAF pada awal Januari 2021.

Aksi teror OPM pimpinan menurut dia juga dilakukan terhadap langkah pembangunan pemerintah di Papua dengan membunuh belasan karyawan PT. Istaka Karya yang sedang mengerjakan proyek Jalan Trans Papua di Nduga pada 2018.

“Kekejaman OPM sering kita lihat saat mereka menembak heli milik TNI yang sedang mengevakuasi prajurit dan membawa logistik ke daerah pedalaman Papua. Lalu pembacokan pada tukang ojek di Intan Jaya,” ujarnya.

Padahal, Presiden Jokowi secara tegas hadir berkali-kali ke Papua. Hal itu tentu saja sebagai bentuk nyata kehadiran negara diimplementasikan dengan pendekatan kesejahteraan. Termasuk pemberian dana Otsus yang ditingkatkan dan berbagai pembangunan infrastruktur.

Namun di sisi lain menurut dia, tindakan OPM malah berseberangan dengan sikap pemerintah yaitu dengan menunjukkan perlawanan untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka apabila Papua sejahtera.

Karena itu, Efriza menilai, selain menggunakan pendekatan kesejahteraan, juga perlu dibarengi dengan pendekatan militer untuk memberikan keamanan dan keselamatan bagi masyarakat Papua dengan memasukkan OPM sebagai organisasi teroris di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Konsekuensinya ketika jadi organisasi teroris maka tidak dapat diintervensi negara PBB dan untuk membatasi ruang gerak OPM misalnya tidak dapat sumbangan dana dari negara luar. Selain itu berimplikasi bertambah konflik karena OPM akan tunjukkan identitas karena itu butuh penguatan militer diperlukan negara damai,” katanya.

Dalam webinar tersebut, pembicara lainnya, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris mengatakan, selama ini label teroris selalu ditujukan pada kelompok yang melakukan aksi teror dengan menggunakan simbol keagamaan.

Namun menurut dia, masyarakat kurang perhatian pada aksi teror OPM yang selama ini dilakukan telah memakan korban baik dari kalangan aparat keamanan dan masyarakat sipil Papua.

“Varian radikalisme di Indonesia bisa dikategorikan pada tiga hal yaitu dalam hal politik, keyakinan, dan tindakan. Kategori Politik dan tindakan bisa dilihat pada OPM yaitu tindakan brutal yang menyebarkan aksi teror,” ujarnya.

Menurut dia, meskipun aksi teror OPM tidak berbasis pada simbol keagamaan namun lebih pada aspek geografis, dan itu justru lebih berbahaya, sebab jika hal ini dibiarkan terus-menerus akan menghabisi wilayah Republik Indonesia.

Sementara itu, Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat Willem Wandik menyarankan agar pemerintah Indonesia lebih baik memperkuat diplomasi di level lokal dan internasional untuk membendung isu-isu Papua.

Dia juga meminta pemerintah fokus pada penyelesaian masalah di Papua seperti marginalisasi, infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan rendahnya tingkatnya partisipasi masyarakat, integrasi sosial-budaya.

“Kekerasan politik secara luas yang belum benar-benar diatasi dan pelanggaran hak asasi manusia seperti di Nduga, Wamena, Intan Jaya, dan masih banyak lagi yang perlu menjadi fokus pemerintah jika ingin stabilitas sosial di Papua terjaga,” ujarnya.

Selain itu dia menilai pendekatan dialog tetap harus dilakukan pemerintah meskipun saat ini tidak ada pendekatan baru untuk menciptakan perdamaian di Papua.

Willem mencontohkan, keberhasilan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan mengedepankan dialog.

Namun, dia jga mengingatkan, dialog tersebut tetap harus dalam kerangka prinsip kesetaraan dan mengurangi ego masing-masing pihak demi terwujudnya kedamaian di Bumi Cenderawasih. (jpg)