25 radar bogor

PPATK: Perlu Deteksi Dini Pencucian Uang yang Berasal dari Korupsi

PPATK
Kepala PPATK, Dian Ediana Rae (Dok.JawaPos.com)
PPATK
Kepala PPATK, Dian Ediana Rae (Dok.JawaPos.com)

JAKARTA-RADAR BOGOR, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan perlu adanya pendeteksian pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi.

Sehingga pihak pelapor perlu memiliki kemampuan untuk mendeteksi Politically Exposed Persons (PEP) atau individu yang dipercaya memegang jabatan publik atau penyelenggara negara, termasuk yang memiliki pengaruh dalam operasional partai politik yang memiliki peluang melakukan korupsi, pencucian uang dan penyuapan.

“Pengidentifikasian profil pengguna jasa menjadi pintu pertama bagi pihak pelapor untuk menentukan kewajaran suatu transaksi. Kegagalan mengidentifasikan profil pengguna jasa akan menyebabkan pihak pelapor tidak bisa menilai kewajaran transaksi yang pada akhirnya berdampak pada kegagalan pelaporan ke PPATK, terlebih dana untuk bertransaksi tersebut bersumber dari tindak pidana korupsi,” kata Kepala PPATK, Dian Ediana Rae dalam sambutan pada acara ‘Diseminasi Kebijakan Regulasi Mengenai Pemanfaatan Aplikasi Politically Exposed Person’ yang disiarkan secara daring, Kamis (10/12/2020).

Dian menjelaskan, poses mengidentikasi pengguna jasa tidak saja kegiatan yang sangat penting bagi pihak pelapor, tetapi juga bagi PPATK dan aparat penegak hukum lainnya. Menurut Dian, PPATK dalam kegiatan menganalisa suatu laporan dari pihak pelapor sangat membutuhkan data profil dari pengguna jasa tersebut.

“Profil yang tidak benar dari pengguna jasa akan menyebabkan proses analisa menjadi tidak tepat yang pada akhirnya PPATK tidak dapat memberikan informasi kepada Penyidik. Demikian juga halnya bagi Penyidik yang sangat membutuhkan profil dari pengguna jasa dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi,” cetus Dian.

Sebagai upaya melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia, sambung Dian, maka Presiden Republik Indonesia pada 20 September 2016 mengeluarkan Instruksi Presiden RI Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016 dan Tahun 2017.

“Pada angka 7 Inpres tersebut mencantumkan aksi berupa penyusunan kebijakan tentang integrasi data keuangan yang mengamanatkan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transkasi Keuangan (PPATK) serta instansi terkait Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” beber Dian.

Hal ini guna mengurangi risiko korupsi di sektor penerimaan negara, menekan kejahatan pencucian uang, penggelapan pajak dan tindak pidana korupsi serta pajak dari wajib pajak yang belum terjaring. Serta mempermudah pengamatan dan pengawasan pejabat negara.

“Serta juga meningkatkan validitas data keuangan wajib pajak,” ujar Dian.

Berdasarkan hasil audit PPATK, lanjut Dian, ditemukan adanya banyak transaksi yang dilakukan oleh pengguna jasa atau nasabah dengan kategori berisiko tinggi (high risk customers).

“Beberapa temuan menunjukan dimana PJK tidak dapat mengindentifikasikan profil diri dari PEP tersebut. Diantara penyebabnya adalah nasabah tidak menginformasikan secara jelas profil pekerjaan berupa jabatan sebenarnya atau tidak mengkinikan profil diri nasabah tersebut,” urai Dian.

Dalam penyusunan basis data PEP, Dian menyebut PPATK salah satunya menggunakan data Penyelenggara Negara yang berasal dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diadministrasikan oleh KPK.

“Data tersebut selanjutnya diperkaya dengan data dari Kementerian lainnya, seperti data Kependudukan dari Dukcapil, data jabatan dari BKN dan data perusahaan dari AHU,” pungkasnya. (jpg)