Pejuang Asa

Riri Nurwulandari

Bagi kita memiliki gelar sarjana itu sangat membanggakan, terlebih untuk orang tua yang berjuang setengah mati (memang sepertinya hampir tak memikirkan nyawa lagi atas pengorbanan mereka membiayai anaknya sampai lulus hingga bergelar sarjana). Demi siapapun yang dibiayainya terlebih kepada anak mereka, yang biasanya semua orang tua menginginkan anak-anak mereka kelak kehidupannya lebih baik dari mereka terlebih soal pendidikan.

Bicara tentang gelar, di Indonesia terdapat gelar Sarjana Pendidikan yang disingkat jadi S. Pd.. Gelar ini salah satu gelar terbanyak (mungkin) yang disandang oleh lulusan yang bercita-cita (entah cita-cita sendiri atau orang lain) sebagai pendidik atau disebut GURU. Ketika kuliah saya dulu berpikiran dan sering jadi bahan guyonan (maaf pak/bu dosen) S. Pd adalah Sarjana Percaya Diri.

Dulu kami tertawa lepas sambil menunggu dosen datang dengan ciri khasnya masing-masing (ada yang dengan mudah dikenali dengan suara taktok taktok sepatunya, dengan mendehem, dengan wangi sport yang khas, dengan pura-pura batuk kecil, sekali lagi maaf pak/bu dosen).

Tertawa kami itu dirasa seolah-olah candaan retjeh (bukan acara televisi ya) yang baru saya sadari ketika sudah menjadi guru bahwa saya memang harus betul-betul percaya diri tinggi menghadapi siswa.

Ketika saya latihan mengajar di laboratorium microteaching itu rasanya luar biasa deg-degannya melebihi ketika akan bertemu calon mertua mungki. Padahal yang dihadapi itu teman sendiri dan tentu saja dosen mata kuliah yang keberadaannya ghaib, tidak bisa terlihat oleh kita.

Namun, di balik kaca yang hanya dilihat oleh beliau matanya penuh selidik sambil memegang pulpen dan mencatat apa saja yang akan jadi catatan dosa kita ketika mengajar (lho serem amat catatan dosa).

Dengan minim percaya diri (kebalikan penuh percaya diri yang orang lain sering kasih semangat) saya cuap-cuap di depan meja guru, papan tulis putih, overhead proyektor (sekarang disebut infocus maklum saya lulusan jadul, hehe) dan tentu saja di depan mahasiswa gadungan yang berperan sebagai siswa.

Maaf kawan saya bilang gadungan, soalnya kalian waktu itu bergaya anak-anak SMA dan casciscus ala-ala anak remaja yang baru mengenal cinta kunyuk. Padahal aslinya sudah tidak pantas lagi disebut anak SMA yang imut, lucu, nyebelin tapi ngangenin.

Beda banget sama mahasiswa yang gak ada lucu-lucunya, serius terus, debat masalah apapun, dari yang gak penting, yang penting, sampai masalah keluarga, yang sok sokan pengen kabur gak kuliah teringat masa SMA dulu.

Padahal dosen tidak peduli lagi mahasiswanya mau satu, banyak, mau kabur, mau masuk, mau bolos, yang penting nilai ujian bagus, dan absen kita yang tanda tangan lho, bukan disebut satu-satu namanya, hehe…

Pada saat itu betul-betul harus percaya diri. Woow… kata-kata itu sekarang terbukti sakti. Kepercayaan diri seorang sarjana pendidikan yang sudah jadi guru harus penuh. Tidak boleh lagi setengah-setengah apalagi minim yang pernah saya rasakan dulu ketika ujian mengajar.

Seorang guru di depan muridnya harus meyakinkan dari seluruh aspek, pengetahuan yang mumpuni (tidak abal-abal, apalagi cuma modal belajar dari si mbah yang populer itu, dan bacanya hanya beda semalam dengan muridnya), cara bicara dan bahasa yang baik, jangan sok-sokan pengen alay mengikuti murid alaynya juga padahal tidak tahu artinya apalagi gurunya sudah lahir pada jaman kolonial, bukan di jaman milenial yang notabene mereka banyak menggunakan bahasa milenial yang konon katanya keren, asik, enak didengar, tapi sorry to say.. enggak banget kalau kata-kata itu harus ada di kamus bahasa Indonesia.

Jauh dari kata sopan, apalagi santun, makanya hati-hati nih para pendidik mengucapkan kata-kata yang katanya asik, sampai viral, dan dijadikan kamus gaul. Waah… kalau saya sih no untuk mengikuti trend kata-kata tersebut (ups maaf saya bukan sedang jadi juri ajang pencarian bakat ya).

Makanya sekarang kata-kata tersebut seolah-olah merupakan kata resmi bahasa Indonesia karena siswa dan gurunya banyak dan sering menggunakan kata tersebut. Jadi dianggaplah kata-kata itu sebagai kata yang pantas diucapkan. Hmm jadi bahas bahasa ya, numpang lewatlah sedikit, bagi ilmu bahasanya.

Contoh kata yang pernah diviralkan yaitu kata “anjaay” (gpp kan bahas ini? Sedikit kok, jangan di skip ya). Kata anjay itu bentuk eufemisme, itu penghalusan dari kata anjing, karena anjing itu hewan berkaki empat (silakan deskripsikan sendiri tentang hewan ini).
Kata anjing itu sendiri di semantik, kalau dibuka di kamus, apakah di kamus ada makian? Tentu saja tidak, tapi jika diucapkan oleh seseorang tentu ini lain soal. Naah sampai di sini saja bahas bahasanya ya.

Oke kembali lagi ke percaya diri. Ketika guru mengajar, jika tidak punya kepercayaan diri yang penuh, bisa dipastikan apa yang ada di benaknya ketika sudah siap mengajar akan hilang sebagian atau bahkan seluruhnya, misal intonasi datar sampai terasa garing walaupun pelajarannya tentang anekdot. Ttidak tahu apa yang akan disampaikan. Tidak tahu jadwal kapan dan di kelas mana harus mengajar.

Penampilan berantakan, (maaf) aroma khas manusia sedang banyak masalah (memang aromanya seperti apa ya?), salah kostum, harusnya pakai seragam formal malah pakai seragam FOR MALL (paham kan?) Yah pokoknya kalau seorang guru sudah terlihat tidak siap mengajar baik dari segi ilmu dan penampilan bisa dipastikan siswanya kurang atau bahkan tidak menghargai. Minimal mereka mengikuti (maaf bukan buruk sangka ya) apa yang diucapkan gurunya, entah itu yang baik atau yang buruk sekalipun.

Nah… makanya kita sebagai guru harus banyak berkaca atau kata lainnya instrospeksi. Selain pendidikan yang mereka dapatkan di keluarga, lingkungan, pergaulan, kita sebagai guru juga secara tidak langsung atau tidak langsung ikut mewarnai siswa kita.

Di sisi lain, seorang guru juga tidak perlu over convidence atau terlalu pe-de, terlalu yakin bahwa siswanya sudah pintar semua sehingga tidak perlu membahas pelajaran, cukup mengabsen, ngobrol sebentar basa-basi, kasih catatan, lalu tinggalkan untuk santai sambil baca akun gosip atau sekedar lihat-lihat barang apa yang sedang promosi, dan lihat postingan foto-foto orang yang dikenal di akun media sosial.

Tidak terasa bel sudah berbunyi dan hanya kata-kata “oke anak-anak sampai di sini dulu pelajaran kita hari ini, sampai jumpa besok”. Muridnya yang rajin belajar hanya termangu dan garuk-garuk kepala tak gatal, sambil mengejar guru tersebut dan bilang “ pak/bu ini dikumpulkan kapan tugasnya?” jawab gurunya “terserah” atau “besok pagi teng jam 7 sebelum bel” Oalaah… bagi siswa yang kurang rajin belajar hanya bisa pasrah sambil memutar mutar pulpen sambil mikir “jajan mi ayam enak kayaknya, masalah tugas masa bodo, wong dia sendiri tidak mengerti pelajarannya, paling-paling juga nanti diomelin guru itu tapi tetap dapat nilai kok”, begitu pikirnya.

Belum lagi tentang penampilan. Saking terlalu pe-de, yang harusnya pakai pakaian formal dan ingin dianggap beda dari yang lain, sampai ingin jadi trendsetter, pakailah guru itu baju buat kondangan. Ala-ala cetar membahana ulala (maaf senior, saya pakai bahasanya ya, kalau pinjam kan harus dikembalikan, nanti repot saya).

Eits jangan protes wahai warganet, beliau yang pakai jargon itu memang senior saya di kampus ternama di Bogor, hehe… Sampai mana tadi? Oya baju kondangan.

Kalau pakai batik atau jas ketika mengajar cocok tak? Masih pantaslaah, tapi kalau pakai brukat dan songket (kecuali hari Karitni bolehlah ya), sanggulan, make-up yang waduuuh… (maaf) seperti pulang dari sasana tinju dan habis makan buah bit atau naga.

Kalau saya bilang seperti vampire yang habis sedot darah serem juga saking membaranya itu bibir atau pakai minyak nyongnyong yang masih 3 meter jauhnya sudah tercium baunya. Pas gurunya sampi kelas, muridnya lansung pingsan.

Yaah begitulah sekelumit tentang Sarjana Percaya Diri eh Sarjana Pendidikan. Semoga menjadi bahan renungan para guru yang bukan hanya bisa mengajar, tapi juga mendidik.

Semua orang bisa mengajar tapi belum tetu bisa mendidik. Mari kita didik murid-murid kita dengan baik dengan hanya mengharap pahala dan ridho dari Allah SWT, bukan hanya sekadar mengharap upah yang (semoga) layak, karena saya yakin diantara murid itu ada salah satunya yang menarik kita ke syurga. Aamiin yra.. Tulisan ini belum selesai sampai di sini, masih ada bagian 2 nya. Ditunggu ya. Terima kasih.(*)

Penulis: Riri Nuwulandari, S. Pd.