25 radar bogor

Guruku Matahari Bangsaku

Riri Nurwulandari
Riri Nurwulandari

Tidak biasanya dalam tulisan saya kali ini saya agak kehilangan ide untuk menciptakan sebuah judul. Padahal sudah ratusan kali saya membuat tulisan, walaupun idenya sudah menari-nari di kepala saya dan sekarang sudah menunjukkan hampir tengah malam waktunya insan manusia sudah berlabuh di pembaringanya yang nyaman, tapi yang namanya penulis itu tidak kenal waktu kapan ide itu datang ya harus segera dituangkan. Jika tidak maka akan terbanglah semua yang muncul di benak yang tersisa tinggal beragam pertanyaan klasik apa dan kenapa…bisa hilang, hehe…

Sekarang sudah bulan ke delapan. Saya, Anda, dan bahkan seluruh penduduk dunia merasakan jadi kaum rebahan yang mungkin terbersit juga untuk membuat video tutorial rebahan yang dikirim ke kanal saluran pribadi atau punya aplikasi yang sedang ramai diminati, itu tuh yang ada joget-joget tangannya seperti dipatahkan, dikepalkan, meliuk-liuk, merem-melek, dan entah apa lagi, dengan diiringi lagu latar yang sering saya dengar pula di iklan ponsel, di hp pak suami, di rumah tetangga sebelah, di angkot, di warung, bocah-bocah yang berlarian mengejar layangan dengan cerianya menyanyikan mamah mudaa…mamah mudaa…lalalalalala… hadeuh, tepok jidat saya. Dan entah lagu apa lagi yang sedih jadi senang, senang jadi sedih, dicampur semua seperti nasi rames, gak karuan tapi enak di telinga, jadi tidak sadar ikut goyang, sambil nyapu halaman rumah ketika saya berperan jadi ijah kalau di sinetron, sambil nyanyi “hareudaang…hareudaang…hareudaang…panas panas panaaas…”hehe… Pasti Anda dalam hati sedang nyanyi juga kan? Hayoo ngaku…, tak usah malu.

Yaah begitulah sekilas kegiatan yang saya lihat dan bahkan rasakan selama delapan bulan ini, tapi ternyata kalau kata cucu kakak saya, omaygat… akan berakhir semua kesantaian (atau kebosanan?) itu dengan akan dimulai kembali kegiatan normal seperti sebelum delapan bulan lalu… Saya tidak akan bahas kenapa ini bisa terjadi dan tidak perlu menyalahkan apapun atau bahkan siapapun, yang pasti semua terhenti sejak bulan Maret.

Kepanikan (lebih tepatnya keresahan) saya muncul setelah melihat pengumuman di televisi kalau mas menteri (saya ikut-ikutan yang lain manggil mas, jangan salah paham ya) mengizinkan sekolah mengadakan pembelajaran tatap muka seperti dulu. Hmm… banyak yang senang dong, terutama para orang tua khususnya kaum emak-emak yang sudah lieur mengajari anaknya belajar di rumah. Naah baru kerasa kan susahnya mengajarkan anak. Kalian saja yang orang tua kandung tidak sabaran.

Padahal hanya satu atau dua paling banyak tiga anak, apalagi guru di sekolah, ratusan anak, tapi mengapa masih banyak orang tua yang melaporkan guru ke pihak yang bewenang? Sementara guru hanya mendidik, tidak membunuh.

Ups… saya menulis kalimat ini juga setelah melihat berita di televisi kalau ada orang tua yang kehilangan kesabaran terhadap anaknya yang dianggap susah untuk diajari sampai anaknya kehilangan nyawa saking kesalnya itu orang tuanya mengajarkan anaknya yang tidak paham-paham apa yang diajarkan.

Naah… begitulah rasanya, jadi saya (yaah ketahuan deh kalau penulis ini seorang guru, hehe), tapi kalau guru itu rasa kesalnya mungkin hanya 1% (mungkin lhoo) sisanya sabar, uuh jadi terharu.

Buktinya banyak muridnya berakhir di sidang meja hijau ujian sarjana, ulama, pejabat yang ( insyaalloh ) amanah, anti korupsi (walaupun mungkin bibitnya dari ketika sekolah tukang nyontek, makan 5 gorengan bayar 2 kalau di kantin), jadi pemimpin di segala bidang (yaah minmal pemimpn rumah tangga), orang yang mengobati, penjaga keamana negara dan kedaulatan NKRI (mantap) dan beragam profesi lainnya yang dianggap masyarakat sebagai profesi terhormat itu belajarnya dari manusia yang disebut GURU…

Woow begitu berharga dan mulianya guru. Eeh maaf, kok kita jadi bahas guru ya. Ya iyalah kan agak nyambung toh dengan rencana mas menteri yang katanya akan mulai melaksanakan kegiatan belajar mengajar seperti biasa ketika sebelum bencana pandemi ini terjadi.

Mungkin para orang tua banyak yang bersorak bahagia karena beban stres mengajari anak otomatis berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali. Padahal maaf hanya mengajari anaknya menghafal Pancasila. Itu emak sampai sedia sapu yang entah akan digunakan untuk apa, sampai jadi trending topik dan dianggap lucu. Padahal menurut saya tidak lucu, tapi lucu bangeet…(lucu gak?).

Yaah begitulah tugas seorang guru, tidak mudah, tidak sulit, tapi jangan disepelekan juga. Kata mas menteri, jika sekolah sudah mulai melakukan tatap muka lagi maka guru juga harus bersiap, siap semuanya, siap menghadapi murid yang sudah lama hanya tahu tulisannya tapi tidak tahu mukanya seperti apa. Siap melakukan protokol kesehatan yang ketat (walaupun entahlah), intinya harus siap lahir batin.

Saya berharap dengan akan diberlakukannya pembelajaran tatap muka, semoga revolusi mental dan akhlak murid-murid kita kedepannya lebih baik lagi, sesuai anjaran Rosul kita yang Mualia yang berakhlakul karimah. Naah jadi ketemu judulnya nih, Guruku Matahari Bangsaku. Selamat Hari Guru 2020 . Bangkitkan Semangat Wujudkan Merdeka Belajar. Merdeka!!!

Penulis : Riri Nurwulandari, S. Pd.