JAKARTA-RADAR BOGOR, Mantan Kepala Biro Koordinator Pengawas Penyidik PNS Polri, Brigjen Prasetijo Utomo didakwa menerima suap sebesar USD 150 ribu atau setara Rp 2 miliar. Suap tersebut diterimanya karena telah menghapus nama terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra dalam red notice Interpol Polri.
“Brigjen Pol Prasetijo Utomo menerima USD 150 ribu dan Irjen Pol Napoleon Bonaparte menerima SGD 200 ribu dan USD 270 ribu dari Joko Soegiarto Tjandra melalui Tommy Sumardi,” kata jaksa penuntut umum (JPU) Wartono membacakan surat dakwaan di PN Tipikor Jakarta, Senin (2/11).
Perkara ini berawal saat Djoko Tjandra meminta bantuan pada Tommy dalam urusan penghapusan red notice yang ada di Divisi Hubungan Internasional Polri. Sebab, Djoko Tjandra yang kala itu berstatus buron hendak mengurus upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jalarta Selatan.
Tommy berupaya membantu Djoko Tjandra dengan cara menghubungi Brigjen Prasetijo. Lantas pada 9 April 2020, Tommy mengirim pesan singkat yang berisi file surat dari istri Djoko Tjandra.
Setelahnya, Prasetijo meneruskan pesan singkat itu kepada seseorang bernama Brigadir Fortes. Lalu, dia memberi perintah pada Brigadir Fortes untuk mengedit surat tersebut sesuai format permohonan penghapusan red notice.
“Setelah selesai diedit Brigadir Fortes mengirimkan kembali file tersebut untuk dikoreksi Brigjen Prasetijo, yang selanjutnya file konsep surat tersebut dikirimkan oleh Brigjen Prasetijo kepada Tommy Sumardi,” ujar Jaksa.
Tak berselang lama, Brigjen Prasetijo mengenalkan Tommy pada Irjen Napoleon Bonaparte yang saat itu menjabat sebagai Kadiv Hubinter Polri. Dalam pertemuan tersebut, Napoleon mengaku bisa menghapus nama Djoko Tjandra dari red notice, asalkan ada uang sebesar Rp 3 miliar.
“Dalam pertemuan tersebut terdakwa Irjen Napoleon menyampaikan bahwa ‘red notice Djoko Soegiarto Tjandra bisa dibuka karena Lyon yang buka, bukan saya. Saya bisa buka, asal ada uangnya’. Kemudian Tommy Sumardi menanyakan berapa nominal uangnya dan oleh Irjen Napoleon dijawab ‘3 lah, Ji (Rp 3 miliar),” beber Jaksa.
Seusai pertemuan itu, Tommy lantas memberi kabar pada Djoko Tjandra. Berikutnya, Djoko Tjandra mengirimkan uang senilai USD 100 ribu. Uang tersebut kemudian dibawa Tommy kepada Napoleon ditemani oleh Prasetijo pada 27 April 2020.
“Prasetijo sempat melihat uang yang dibawa oleh Tommy. Kepada Tommy, Prasetijo berkata, ‘Banyak banget ini Ji buat beliau? Buat gue mana?’”
“Saat itu uang dibelah dua oleh terdakwa dengan mengatakan ‘Ini buat gue, nah ini buat beliau sambil menunjukkan uang yang sudah dibagi 2’,” sambung Jaksa.
Jaksa mengatakan, Tommy hanya membawa USD 50 ribu saat bertemu dengan Irjen Napoleon. Namun, jumlah tersebut ditolak oleh Napoleon. Bahkan Napoleon meminta tambahan menjadi Rp 7 miliar dengan alasan uang tersebut bukan untuk dia seorang.
“Tommy Sumardi menyerahkan sisa uang yang ada sebanyak USD 50 ribu, namun Irjen Napoleon Bonaparte tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut dengan mengatakan ‘Ini apaan nih segini, nggak mau saya. Naik Ji jadi 7 Ji, soalnya kan buat depan juga bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau dan berkata ‘petinggi kita ini’,” ungkap Jaksa.
Pada Mei 2020, Prasetijo masih menghubungi Tommy untuk meminta uang. Bahkan, Prasetijo meminta jatah tersebut melalui sambungan telepon.
“Terdakwa Brigjen Prasetijo menghubungi Tommy Sumardi melalui sarana telepon dengan mengatakan ‘Ji, sudah beres tuh, mana nih jatah gue punya’ dan dijawab oleh Tommy, ‘Sudah, jangan bicara di telepon, besok saja saya ke sana’,” urai Jaksa.
Lantas Tommy datang menemui Brigjen Prasetijo dengan membawa uang senilai USD 50 ribu. Uang tersebut selanjutnya diserahkan kepada Prasetijo Utomo. “Sehingga total uang yang diserahkan oleh Tommy Sumardi kepada terdakwa Brigjen Prasetijo adalah sejumlah USD 150 ribu,” pungkas Jaksa.
Prasetijo didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (2) juncto Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan/atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.(jpc)