25 radar bogor

Pentingnya Literasi Untuk Berkompetisi Global

Kepala Perpusnas RI, Syarif Bando saat menjadi narasumber literasi.
Kepala Perpusnas RI, Syarif Bando saat menjadi narasumber literasi.

BANDUNG BARAT-RADAR BOGOR, Ketika Indonesia belum merdeka, angka melek aksara Indonesia baru satu persem. Kini, setelah 75 tahun merdeka, angka melek aksara sudah mencapai 99 persen. Namun, apakah tambahan melek aksara berarti juga melek literasi?

Jika pemahaman itu dijadikan parameter peningkatan literasi, maka kondisi saat ini tidak jauh berbeda ketika masa pra kemerdekaan. Artinya, kemampuan literasi baru sebatas kemampuan mengenal huruf, kalimat, memahami sebab akibat, dan menyampaikan pendapat.

Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando mengatakan, jika mengacu dari standar literasi yang disyaratkan oleh UNESCO, setidaknya ada empat tingkatan literasi.

Pertama, tersedianya akses kepada sumber-sumber bahan bacaan baru yang terbaru (up to date). Namun, perkembangan teknologi digital di kota-kota besar di Pulau Jawa khususnya, tentu lebih cepat dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indinesia.
“Faktor ketimpangan seperti ini juga mesti diperhatikan agar akses menuju sumber informasi tidak mengalami perlambatan,” ujarnya ketika mengikuti talk show ‘Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat’ yang digelar secara protokol kesehatan di Kabupaten Bandung Barat, Kamis, (22/10).

Kedua, standar literasi seperti yang disyaratkan UNESCO adalah kemampuan memahami bacaan secara tersirat dan tersurat. Ketiga, kemampuan menghasilkan ide-ide, gagasan, kreativitas dan inovasi baru. Dan keempat, literasi adalah soal kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa yang bermanfaat bagi khalayak.

“Saat ini, Indonesia merupakan salah satu pangsa terbesar ekonomi dunia akibat seringnya sumber daya alam yang dieksploitasi, kemudian dikirimkan ke luar negeri untuk diolah dan dikembalikan lagi menjadi produk siap jual. Maka, penting untuk memiliki kemampuan literasi sebagai bagian dari percaturan global agar kita tidak selalu menjadi bangsa konsumen, melainkan bangsa produsen dengan iklim masyarakat yang produktif,” tambah Syarif.