Atasi Macet Puncak, Wisatawan Bakal ‘Dipaksa’ Naik Angkutan Massal

Ilustrasi suasana kepadatan lalu lintas di kawasan Gadog Ciawi menuju Puncak. Sofyansyah/Radar Bogor

BOGOR – RADAR BOGOR, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), akhihrnya berkolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor untuk mengatasi kemacetan di jalur Puncak. Rencananya, BPTJ akan meluncurkan layanan angkutan massal.

Komite Perencana Pembangunan Strategis, Yayat mengatakan, program buy the service (BTS) atau pembelian layanan, merupakan upaya pemerintah pusat membantu Pemkab Bogor dalam mengatasi kemacetan di Jalur wisata tersebut.

Yayat menjelaskan, Kementerian Perhubungan ( Kemenhub) telah menyiapkan bantuan anggaran sebesar Rp100 miliar. Untuk itu, Pemkab Bogor harus mempersiapkan rencana pemerintah pusat agar ada sinergi yang baik.

“Nah salah satu yang akan dibuat adalah BTS. Artinya, pemerintah membeli layanan bus,” ujar Yayat usai melakukan rapat Pembahasan Penanganan Kemacetan Lalu Lintas pada Kawasan Puncak Bogor di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor, akhir pekan kemarin.

Yayat mengatakan, penanganan kemacetan Puncak harus dilakukan secara menyeluruh, ketika BPTJ akan menyediakan layanan prasarananya. Tentunya, kata dia, harus diimbangi dengan adanya alokasi dana untuk rekayasa lalulintas.

Pertama, sambung dia, ketika layanan angkutan massalnya akan dioperasikan maka harus dipertimbangkan juga keberadaan angkutan perkotaan yang ada di Jalur Puncak.

Ilustrasi suasana kepadatan lalu lintas di kawasan Gadog Ciawi menuju Puncak. Sofyansyah/Radar Bogor

Yayat mengatakan, program yang saat ini digagas pemerintah pusat harus berkelanjutan. Sehingga, perencanaanya harus dilakukan untuk jangka panjang dengan persiapan yang matang.

Apalagi, Kemenhub menggandeng Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi tim kajian penanganan kawasan Puncak.

“Kita tidak mau tim penyusun kajian hanya membuat kajian. Dia harus turun ke lapangan untuk berdialog dengan masyarakat, bahkan jika bisa mengeluarkan bentuk aturan yang pas untuk menata Puncak,” katanya.

Kebijakan dalam menangani kemacetan kawasan Puncak, harus melibatkan daerah yang bersinggungan seperti Kota Bogor, dan sebagainya.

Yayat mengakui, rencana untuk melakukan pelebaran Jalur Puncak terbilang berat. Untuk itu, salah satu opsi yang dapat diambil dengan mengendalikan kendaraan pribadi yang hendak menuju kawasan Puncak.  “Bagaimana biar angkutan pribadi ini bisa pindah ke bus ? Nah dengan BTS itu,” katanya.

Sementara itu, Kasubdit Pengawasan dan Pengendalian BPTJ, Torang Hutabarat mengatakan, angkutan massal perkotaan merupakan public goods. Sehingga, pemerintah menjadi penanggung resiko dalam penyediaannya.

Ilistrasi suasana kepadatan lalu lintas di kawasan Gadog Ciawi menuju Puncak. Sofyansyah/Radar Bogor

Program BTS untuk angkutan massal perkotaan dilakukan dengan membeli layanan angkutan massal perkotaan kepada operator dengan mekanisme lelang berbasis standar pelayanan minimal atau quality licensing.

Torang menjelaskan, dengan program BTS masyarakat dapat beralih dari pengunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum. Tentunya, pemerintah saat ini tengah menyiapkan peningkatan layanan umumnya terlebih dahulu.

Torang meminta, semua unsur pemerintah mulai dari pemerintah pusat, provinsi Jawa Barat, dan daerah harus terlibat untuk bersama-sama mencari solusi.

“BTS ini, untuk memancing (pengendara pribadi) agar beralih ke angkutan umum. Apa yang harus disediakan semisal park and ridenya,” kata dia.

Saat ini, sambung dia, masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi ke Jalur Puncak sebanyak 80 persen. Selain itu, kerugian ekonomi akibat kemacetan Jakarta mencapai USD 2,6 Milyar per  tahun (data 2017).

Sektor transportasi menyumbang 27 persen dari emisi CO2. Pada negara  berkembang, emisi CO2 dari transportasi akan meningkat hingga dua  kali lipat pada kurun waktu 1980  hingga 2030.

Ilustrasi suasana kepadatan lalu lintas di kawasan Gadog Ciawi menuju Puncak. Sofyansyah/Radar Bogor

“Tentu saya setuju dengan adanya konsep manajemen rekayasa lalin selain konsep penanganan prasarananya. Baru manajemen angkutan umum,” katanya.

Untuk operator layanan bus angkutan masal, tentunya harus jelas dan tertuang dalam kontrak agar program tersebut tak sia-sia. Sebab, dengan adanya kerjasama atau kontrak, ada klausul sanksi ketika operator tersebut melanggar kesepakatan.

Karen dibayar oleh pemerintah. (pemerintah) membeli layanan. Jadi pemerintah ngeluarin anggaran untuk membeli layanan ini,” katanya.(ded/c)