November Puncak Curah Hujan Diatas Normal

Radar Bogor Group menggelar acara kongko di halaman D’Bozz Cafe, Jumat (25/9/2020).

BOGOR-RADAR BOGOR, Musim hujan sudah di depan mata. Berbagai bencana juga sudah mulai terjadi di mana-mana. Lantas amankah dengan pasokan air kita?

Hal itulah yang coba digali Radar Bogor Group dalam acara kongko di halaman D’Bozz Cafe, Jumat (25/9). Acara tersebut menghadirkan pembicara dari Stasiun Klimatologi Bogor dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bogor.

Kepala Stasiun Klimatologi Bogor, Abdul Muthalib mengakui, ada anomali yang terjadi dalam perkiraan musim hujan kali ini. Meski datang sedikit lebih awal, musim hujan memang sudah sewajarnya terjadi. Kedatangannya juga bergantung pada kemunculan awan cumulonimbus (Cb).

“Itu sudah menjadi pertanda kalau mau memasuki musim hujan. Awan itu juga yang menyebabkan hujan besar di awal-awal musim maupun akhir musim. Di dalamnya juga sudah terangkum seperti potensi hujan es, angin kencang, petir, atau malah puting beliung,” ungkapnya.

Ia mencontohkan, fenomena hujan es yang baru-baru ini menggemparkan warga Bogor memang dampak dari awan Cb itu. Fenomena itu terjadi secara lokal saja. Tak heran, terjadinya hujan es itu tidak secara merata di wilayah Bogor.

Hanya saja, dampak dari kondisi cuaca itu yang seharusnya menjadi perhatian. Lantaran puncak musim hujan justru terjadi pada rentang Januari-Februari. Contohnya saja, hujan ekstrem yang berimbas pada meluapnya sungai dan mengakibatkan banjir bandang. Bahkan, beberapa daerah juga terjadi longsor.

Angin puting beliung di awal musim ini juga sudah terbukti menghantam beberapa rumah dan membuat pohon-pohon rebah.
Waduk-waduk yang ada di Bogor perlu diperhatikan secara optimal. Jika tidak, musim hujan akan membuat permukaan waduk melebihi ambang batas normal.

Radar Bogor Group menggelar acara kongko di halaman D’Bozz Cafe, Jumat (25/9).

Muthalib sendiri sudah menyaksikan bagaimana permukaan waduk yang sungguh hauh di atas batas atas Tinggi Muka Air (TMA). Jika dibiarkan, air takkan bisa menanggung beban hujan yang masuk. “Makanya saya menyarankan agar menurunkan TMA,” imbuhnya.

Muthalib juga menjabarkan, beberapa bencana yang datang baru-baru ini memang dipengaruhi kondisi topografi wilayahnya. “Karena kondisi Jawa Barat, topografinya bergunung-gunung. Akhir musim kemarau juga tanah menjadi kering, lalu langsung dihantam hujan lebat. Sedangkan, daya rekat terhadap air kurang maksimal. Itu pula yang mengakibatkan longsor,” papar lelaki yang pernah bertugas di Sulawesi Selatan (Sulsel) ini.

Meski begitu, masyarakat tak jarang antusias menyambut musim hujan. Bahkan, rutinnya air melimpah dari langit itu dinilai bisa menjadi salah satu aset ketersediaan air bersih bagi masyarakat. Namun, kenyataannya pasokan justru menurun di kala musim hujan berlangsung tiada ampun.

Direktur Teknik PDAM Tirta Pakuan, Ade Syaban Maulana menjelaskan, hujan bukan menjadi satu-satunya alasan debit air menjadi semakin banyak. Hujan ekstrem justru mengganggu proses penjernihan air yang selama ini diprakarsai mesin-mesin canggih PDAM. Alasannya, tingkat kekeruhan air meningkat tajam.

“Kita ini serba salah. Kemarau tidak ada air, musim hujan malah kita tahan-tahan air. Makanya, kita sebenarnya cenderung lebih suka kalau hujan biasa-biasa saja,” cetusnya, saat bertandang ke Radar Bogor.

Menurutnya, hujan memang bisa menjadi aset bagi pengolahan air bersih jika semua pengelolaanya sudah benar-benar terpadu. Sayangnya, kekuatan pengolahan air bersih milik PDAM Tirta Pakuan juga mengalami keterbatasan.

Mereka hanya bisa menampung kekeruhan tertinggi di rentang 600-1.000 NTU (Nephelometric Turbidity Units). Sumber air baku yang mereka pakai dominan air permukaan, dari dua sungai besar, yakni Ciliwung dan Cisadane.

Radar Bogor Group dalam acara kongko di halaman D’Bozz Cafe, Jumat (25/9).

“Nah, kalau hujan sedang ekstrem, kekeruhan itu bisa sampai 4.000 NTU. Malah kemarin ada yang sampai 8.000 NTU. Inilah yang agak berat karena untuk menyaring lumpur atau sedimentasi itu butuh waktu semakin lama,” terang Ade.

Bahkan, kekeruhan itu juga mempengaruhi kerja mesin yang menyiapkan air bersih. Jika kekeruhan sudah sangat ekstrem, mereka terpaksa harus menurunkan kapasitas debit air. Hal tersebut demi mengimbangi kualitas air bersih yang akan keluar dan dimanfaatkan masyarakat dan pelanggan.

“Bisa dibayangkan kalau tingkat kekeruhan 4.000-8.000 NTU, mau gak mau kita kurangi,” tekannya.

Kejadian ekstem semacam itu sempat dialami PDAM hingga dua kali. Cuaca ekstrem awal tahun 2020 sempat berimbas pada sistem pelayanan air bersih. Mereka terpaksa menjaga kualitasnya dengan mengurangi debit. Baru-baru ini, layanan air bersih juga sempat tersendat karena adanya cuaca ekstrem yang berimbas pada berbagai bencana di beberapa wilayah.

Antisipasi Sampah

Kondisi musim hujan yang seperti dua mata pisau memang perlu disikapi dengan benar. Selain waspada, masyarakat pun diminta agar tetap mencegah terjadinya potensi dan kemungkina bencana itu.

Kepala Stasiun Klimatologi Bogor, Abdul Muthalib sejak awal sudah mengimbau agar masyarakat sudah mulai mawas diri. Musim hujan sudah terlihat di depan mata. Mencegah banjir bisa dengan cara paling sederhana, yamni membersihkan saluran-saluran air.

“Biasanya kalau musim kemarau kita lalai kan, membuang sampah sembarangan. Sampai sungai juga terpengaruh. Padahal sungai itu sangat berarti sekali bagi kehidupan kita. Kan kalau ada sampah akan menyebabkan terganggunya kecepatan aliran dan bisa menghambat,” tuturnya.

Bahkan, lanjut Muthalib, hambatan di air itulah yang biasa menyebabkan banjir bandang. Untuk itulah ia meminta masyarakat agar lebih sadar dengan lingkungan sekitarnya.

“Perlu juga memangkas pohon yang punya risiko tumbang karena hujan lebat atau angin kencang. Tidak perlu dipotong. Cukup dihindari agar tidak berpotensi membahayakan,” tandasnya.

Direktur Teknik PDAM Tirta Pakuan, Ade Syaban Maulana juga meminta agar masyarakat tidak membuang sampah sembarangan. Sumber air bersih yang diolah PDAM berasal dari dua sungai besar, Cisadane dan Ciliwung. Permasalahan ya g mereka hadapi ternyata juga bukan hanya soal sedimentasi atau lumpur.

Sampah yang hanyut di sungai-sungai juga malah menjadi kendala terberat yang dihadapi mesin-mesin pengolahan air. Pasalnya, proses untuk menyaring air yang mengandung sampah jauh lebih lama dibanding yang membawa lumpur atau endapan. Tak jarang, sampah itu juga bisa merusak rangkaian mesin yang dimiliki oleh perusahaan berpelat merah tersebut.

“Dulu, kita pernah beli alat untuk menyaring sampah untuk pengolahan air minum begitu di Jerman. Tidak lama, alatnya malah rusak. Ternyata, jenis sampah kita memang berbeda dengan orang Jerman. Kalau kita, sampahnya, ada yang kasur, sepatu, ban bekas, atau aneka jenis plastik,” sesal Ade.

Pihak PDAM pun sempat berbinar-binar dengan aturan soal penggunaan plastik antara Kota dan Kabupaten Bogor. Akan tetapi, harapan pengurangan sampah plastik itu meredup seketika. Lantaran realisasi di lapangan kurang maksimal. Buktinya, PDAM masih kerap menjumpai air baku yang membawa berbagai jenis sampah dari sungai.

“Harusnya memang kita bergandengan tangan dengan pegiat lingkungan. Contoh sederhananya bisa dengan membuat biopori di sekitar sungai-sungai demi menjaga pasokan air. Itu juga bisa mencegah bencana karena kemampuannya menyimpan air,” tandasnya. (mam)