25 radar bogor

Jakob Oetama

Lima menit kemudian saya baru tahu ada apa. Yakni setelah Joko ”Jagaters” Intarto menghubungi saya: bahwa Pak Jakob meninggal dunia. Rabu, jam 13.00, di RS Mitra Keluarga, Jakarta.

Tentu saya tidak terlalu kaget. Saya sudah lama mendengar beliau sakit. Usianya juga sudah 89 tahun –beberapa hari lagi.

Saya langsung teringat semua kenangan lama. Pak Jakob adalah orang yang sabar, kalem, tenang, kalau berjalan tidak bergegas, kalau bicara  lirih, ritme kata-katanya lamban dan wajahnya lebih sering datar –tidak bisa terlalu kelihatan gembira atau terlalu kelihatan sedih.

Pak Jakob, karena itu, adalah simbol sosok orang Jawa yang sangat sempurna.

Kepindahan beliau ke Jakarta tidak membuat beliau berubah menjadi ”lu gue”. Tidak seperti saya: begitu pindah ke Surabaya langsung ikut menjadi bonek.

Kesantunan Pak Jakob itu mungkin karena budaya desa di Jawa Tengah sangat merasuk ke jiwanya. Mungkin juga karena roh Borobudur ikut mewarnainya. Mungkin sekali latar belakangnya sebagai guru masih terus terbawa. Mungkin pula kultur sekolah Seminari Katolik masih ada padanya –meski beliau tidak menyelesaikan seminarinya.

Rambut beliau lurus tapi dibiarkan agak panjang. Ibarat guru besar, Pak Jakob itu sempurna karena linier. Tidak seperti saya yang zig-zag: tamat SMA di Magetan langsung ke Kalimantan. Kawin pun dengan galuh Banjar, lalu jadi bonek, dan menjelang tua harus mengganti hati saya dengan hatinya orang Tionghoa dari Tianjin.