Gugatan RCTI ke MK Dilawan Warganet

Gedung Mahkama Konstitusi. Foto:Net

JAKARTA-RADAR BOGOR, Gugatan stasiun televisi RCTI dan Inews TV perihal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK) menuai polemik.

Melalui gugatan uji materi yang terdaftar pada 22 Juni 2020, kedua stasiun televisi tersebut mempersoalkan Pasal 1 angka 2 dalam UU Penyiaran yang memberi perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional dan penyelenggara penyiaran menggunakan internet, seperti layanan over the top (OTT).

Pemohon mendalilkan layanan konten video melalui internet pada dasarnya merupakan penyiaran, hanya berbeda metode pemancar luasan. Konten layanan over the top ke ranah penyiaran pun tidak terelakkan seiring meningkatnya pengguna internet dari tahun ke tahun.

Melansir MediaIndonesia.com, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyebut apabila permohonan pengujian Undang-Undang (UU) Penyiaran dikabulkan, masyarakat baik perorangan maupun badan usaha, terancam tidak leluasa menggunakan media sosial, seperti Youtube, Instagram, dan Facebook untuk melakukan siaran langsung (live).

Pasalnya, perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin.

Petisi agar MK tidak mengabulkan gugatan tersebut atau agar RCTI mencabut gugatan pun muncul di situs change.org sebagai wujud perlawanan warganet.

Gedung Mahkama Konstitusi. Foto:Net

Petisi itu diinisiasi Bachtiar Djanan M dari Pusat Riset dan Pengembangan Universitas Pembangunan Panca Budi (Unpab), Medan. Hingga kemarin sore, petisi telah ditandangani lebih dari 500 orang.

Menurut petisi tersebut, motif utama di balik gugatan itu ialah bisnis. Saat ini, media sosial dan platform digital sudah menjadi saingan utama bagi televisi.

‘Dalam hal ini pihak korporasi televisi tidak ingin tersaingi oleh berkembangnya konten kreatif berbasis platform digital yang kini tumbuh makin membesar, membuat konsumen televisi beralih ke konten maupun siaran berbasis platform digital,’ tulis Bachtiar.

Menurut penginisiasi petisi, sebenarnya sudah cukup banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur koridor bagi para pembuat

konten kreatif. Peraturan itu dari UU Telekomunikasi, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Pers, UU Pornografi , UU Perdagangan, UU Hak Cipta, hingga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (MIC/ran)