Buzzer Dibayar Pemerintah Rp90,45 Miliar, Politisi Demokrat Bilang Begini

Ilustrasi

JAKARTA-RADAR BOGOR, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut pemerintah pusat telah menggelontorkan dana mencapai Rp 90,45 miliar hanya untuk membayar influencer sejak 2014‎.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Jansen Sitindaon mengatakan dengan dibayarnya influncer tersebut telah membuktikan bahwa buzzer juga disewa oleh pemerintah. “Semakin membuktikan kalau buzzer itu memang ada. Karena pakai uang negara,” ujar Jansen kepada wartawan, Jumat (21/8/2020).

Oleh sebab itu, Jansen meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ikut turun tangan terkait buzzer ini. Anggaran yang dikeluarkan untuk menyewa buzzer itu harus diselediki. “BPK audit serius soal ini. Agar tidak jadi gosip. Bagaimana penerima dan penggunanya,” katanya.

Jansen menilai, buzzer sangatlah mengganggu karena apabila tidak sejalan dengan pemerintah mereka akan langsung menyerangnya. Sehingga memang buzzer perlu menjadi perhatian serius.

“Karena makna buzzer ini sekarang bukan promosi kinerja pemerintah. Tapi nyerang dan bully orang-orang kritis di media sosial,” tegasnya.

Diketahui, Peneliti ICW Egi Primayogha mengatakan pemerintah pusat telah menggelontorkan dana mencapai Rp 90,45 miliar hanya untuk influencer sejak 2014. Data ini diambil ICW dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).

Dalam pemaparannya, Egi mengatakan ICW menggunakan kata kunci influencer dan key opinion leader di LPSE sejak awal era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hasilnya terdapat jumlah paket pengadaan yang mencapai 40 dengan kata kunci tersebut.

“Anggarannya mencapai Rp 90,45 miliar. Anggaran belanja bagi mereka (influencer) semakin marak setelah 2017, mulai ada sejak itu. Hingga akhirnya meningkat di tahun-tahun berikutnya,” ujar Egi.

Egi juga mengatakan, secara umum, total anggaran belanja pemerintah pusat terkait aktivitas digital adalah Rp 1,29 triliun sejak 2014. Kenaikan signifikan terjadi dari 2016 ke 2017.

Pada 2016, anggaran untuk aktivitas digital hanya Rp 606 juta untuk 1 paket pengadaan saja. Namun pada 2017, angka paketnya melonjak menjadi 24 dengan total anggaran Rp 535,9 miliar.

“Karena kami tak lihat dokumen anggaran, dan LPSE itu terbatas, maka tak menutup kemungkinan ini secara jumlah sebenarnya lebih besar. Bisa jadi lebih besar dari Rp 1,29 triliun, apalagi jika ditambah pemerintah daerah,” kata Egi.

Dari data tersebut, Egi mengatakan instansi yang paling banyak melakukan aktivitas digital adalah Kementerian Pariwisata dengan pengadaan 44 paket, disusul oleh Kementerian Keuangan dengan 17 paket, lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan 14 paket.

Anggaran terbesar untuk aktivitas digital justru adalah Kepolisian RI. Meski sedikit secara jumlah paket pengadaannya (12 paket) dibanding Kementerian Pariwisata, namun nilai pengadaan mencapai Rp 937 miliar.

Dari temuan ini, Egi mengatakan, ICW membuat sejumlah catatan. Salah satunya adalah pemerintah telah dan akan menggelontorkan anggaran publik terkait dengan aktivitas digital. Apalagi beberapa paket pengadaan masih berjalan hingga saat ini.(JPC)