Corona Meningkat, Perceraian pun Ikut Melonjak

Asep Saepudin

BOGOR – RADAR BOGOR, Seberapa berpengaruh sih wabah pandemi Covid-19, terhadap angka perceraian keluarga di Indonesia?

Mungkin ada pengaruhnya bagi sebagian. Demikian halnya memang, permasalahan dalam sebuah rumah tangga selalu saja datang silih berganti.

Ada korona atau tidak permasalahan itu pasti ada. Apalagi dengan adanya wabah ini, korona bisa jadi “kambing hitam” penyebab perceraian.

Ketua Divisi Ilmu Keluarga, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, IPB University, Dr Herien Puspitawati mengatakan, Keharmonisan keluarga tidak akan datang begitu saja, terlebih di tengah bencana Covid-19.

Sehingga, suasana tersebut harus diwujudkan melalui perjuangan, pengorbanan, upaya dan doa selama masa karantina di rumah.

Pasangan yang tadinya hanya berjumpa beberapa jam saja di rumah karena aktivitas pekerjaan, kini harus bertemu selama 24 jam dan mengetahui “keburukan” satu sama lain. Belum lagi ditambah dengan meningkatnya stres selama pandemi.

Masa isolasi selama pandemi sangat rentan terhadap memudarnya keharmonisan sebuah rumah tangga. Menghabiskan waktu bersama disinyalir dapat menimbulkan emosi, ketegangan, perseteruan, hingga kekerasan dalam rumah tangga.

Sehingga, hal ini harus sangat diwaspadai. Tidak jarang karena dipicu hal yang sepele hingga berujung pada kekerasan fisik.

Situasi yang memaksa untuk berlama-lama di rumah bisa membuat seorang manusia yang tegar sekalipun jatuh dalam dua kondisi behavioral disengagement, yaitu kondisi saat seseorang kurang berusaha dalam menghadapi stressor.

Tak sedikit juga orang yang menyerah, memilih lebih banyak melamun, berkhayal, tidur, atau terpaku menonton televisi untuk melarikan diri dari masalah.

Sehingga sangat penting upaya-upaya untuk meminimalisir keadaan seperti itu, di antaranya agar setiap pasangan tetap menyediakan waktu luang untuk ‘me time‘.

Me time’ dilakukan untuk menyenangkan diri sendiri tanpa ada embel-embel individu lain, termasuk pasangan. Selain itu, diperlukan saling pengertian satu sama lainya, dalam penyesuaian selama masa pandemi Covid-19. Sehingga, masa-masa sulit yang dilalui dapat menjadi memontum sejarah dalam hubungan suami istri.

Di samping itu, setiap pasangan harus bisa mengelola stres agar tidak dilampiaskan kepada keluarga. Alihkan emosi pada kegiatan yang menyenangkan sesuai hobinya masing-masing, yang tentunya fasilitasnya tersedia di sekitar rumah, seperti menanam dan merawat bunga, menata taman dan pekarangan, menata ruangan dan bersih-bersih di dalam rumah, bercocok tanam, melukis, membaca Al-Quran dan beribadah bersama, saling membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, memasak dan mencuci piring, dan masih banyak lagi beraneka ragam kegiatan dan pekerjaan yang bisa dilakukan untuk mengisi kejenuhan. Tentu kegiatan-kegiatan tersebut dirasa sangat positif dan produktif dalam mengisi keseharian selama di rumah.

Jika menilik ke belakang, jauh sebelum Covid-19 mewabah, di Bumi Tegar Beriman saja angka perceraian  itu cukup signifikan tinggi. Menurut data Pengadilan Agama Kelas 1A Cibinong, sejak Januari sampai Agustus 2019, tercatat ada 3.880 perceraian.

Jika dirata-ratakan ada 485 perceraian setiap bulannya dan rata-rata ada 16 perceraian setiap harinya. Dan yang mencengangkan bahwa cerai gugat itu yang paling banyak, dari pihak wanita. Dari angka 3.880 tersebut, pengugat cerai dari pihak wanita tercatat ada dalam 3003 perceraian. Alasan yang paling tinggi (terbanyak) penyebabnya adalah masalah tingkat ekonomi.

Jadi, kalau hari ini kita mendengar kabar atau menyaksikan banyak perceraian yang terjadi, itu hanya “efek domino” saja. Yang sebenarnya, sebelumnya keluarga tersebut memang sudah bermasalah.

Sehingga kehadiran pandemi Covid-19 menjadi “kambing hitam” terjadinya perceraian dalam sebuah rumah tangga. Walaupun memang ada peningkatan perceraian di masa pandemi ini, tapi korona bukanlah penyebab utamanya.

Maka kekuatan mental spiritual sangat penting dalam membina biduk rumah tangga agar tetap utuh dan harmonis. Sang suami sebagai nakhoda harus bermental baja dan mampu membaca peta luasnya samudra rumah tangga yang penuh hantaman ombak dan gelombang yang setiap saat bisa saja menghantam bahkan sampai menenggelamkan bahtera rumah tangga yang sudah lama dibangun.

Kualitas suami sebagai nahkoda dalam memandu perjalanan bahtera keluarga sangatlah berpengaruh terhadap baik buruknya rumah tangga tersebut. Apakah ia menjadi nahkoda keluarga yang baik atau sebaliknya, menjadi pemimpin keluarga yang buruk.

Pun halnya seorang istri, perperanlah layaknya sebagai istri, jangan ikut menakhodai mengeser peran suami sehingga bahtera rumah tangga terseok-seok tak terkendali dan berjalan tak beraturan bahkan sampai karam tenggelam di tengah samudera.

 

  • Asep Saepudin

(Sekretaris Pusat Kajian Gender, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Visi Nusantara Maju & Ketua Bidang Dakwah dan Kajian Keagamaan, Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat)