Pilkada di 31 Daerah Berpotensi Diikuti Calon Tunggal

Ilustrasi

JAKARTA-RADAR BOGOR, Fenomena calon tunggal dalam pilkada jelas sangat merugikan. Namun, pada pilkada 2020, jumlahnya diprediksi meningkat.

Hasil kajian yang dilakukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menunjukkan potensi calon tunggal di 31 daerah.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyatakan, potensi itu didasarkan pada dinamika politik di tiap daerah. Dari 270 daerah penyelenggara pilkada, 31 daerah diwarnai kemunculan satu kandidat saja dan sangat dominan.

”Dua puluh di antaranya ada kecenderungan yang kuat,” ujarnya dalam diskusi virtual Selasa (4/8/2020/).

Sebagian dari 20 daerah yang berpeluang besar hanya memiliki calon tunggal itu ada di Pulau Jawa. Misalnya di Kota Solo, Sragen, Blitar, Semarang, Kota Semarang, Banyuwangi, Boyolali, Kebumen, Grobogan, Ngawi, dan Klaten.

”Tetapi masih bisa berubah karena masih sangat dinamis. Dan tahu sendiri, proses pencalonan pilkada kita cenderung injury time,” imbuhnya.

Titi menjelaskan, tren peningkatan calon tunggal yang terus naik disebabkan perubahan paradigma. Pada awalnya Mahkamah Konstitusi (MK) melegalkan calon tunggal sebagai solusi atas kebuntuan politik.

Kala itu tahapan pilkada kerap ditunda setelah hanya ada satu paslon akibat blocking politik yang dilakukan penantang guna menghentikan petahana.

Namun sayang, jalan keluar yang diberikan MK dengan skema kotak kosong ditunggangi elite partai politik untuk mencari jalan pintas. ”Calon tunggal yang awalnya untuk mengatasi kebuntuan politik kini jadi cara dalam mencari kemenangan,” imbuhnya.

Titi berharap masyarakat diberi edukasi dan pemahaman lebih mengenai aturan pilkada calon tunggal. Masyarakat harus tahu bahwa calon tunggal bukan hanya satu-satunya pilihan.

”Bukan tidak ada opsi kalau tidak setuju calon tunggal. Bukan berarti wajib dipilih,” tutur Titi. Berdasar pengalamannya memantau pilkada calon tunggal di Kabupaten Tangerang 2018, banyak masyarakat yang tidak memahami.

Dalam hal regulasi, Titi mengusulkan agar penyelenggara membuka akses informasi tersebut. Selain itu, perlakuan antara pasangan calon dan kotak kosong perlu disetarakan. Salah satunya dengan penyediaan alat peraga kampanye (APK) dan slot iklan di media bagi kotak kosong.

Untuk mengurangi potensi calon tunggal, Titi menyarankan perlu dilakukannya revisi UU Pilkada. Salah satu norma yang perlu diatur adalah menurunkan syarat calon perseorangan dan menghapus ambang batas pencalonan.

Peneliti dinasti politik dari Northwestern University Yoes Kenawas menerangkan, dari hasil penelitiannya, ada korelasi antara calon tunggal dan dinasti politik.

Dari 28 paslon tunggal yang muncul sejak pilkada 2015, sembilan paslon atau 32 persen memiliki kaitan dengan dinasti politik. ”Ada di tujuh kabupaten dan dua kota,” ujarnya.

Yakni Kabupaten Landak, Tangerang, Deli Serdang, Maluku Tengah, Padang Lawas Utara, Lebak, dan Bone. Sementara dua kota adalah Makassar dan Prabumulih. Dari sembilan daerah tersebut, hanya calon tunggal di Makassar yang kalah. (jpg)