Tak Mampu Bayar SPP, Ribuan Mahasiswa Terancam DO

Ilustrasi

JAKARTA–RADAR BOGOR, Ancaman putus kuliah atau drop out (DO) akibat tidak kuat membayar SPP di tengah pandemi diperkirakan banyak terjadi di perguruan tinggi swasta (PTS).

Khususnya di PTS yang memiliki mahasiswa di bawah seribu orang. Dari sekitar 4.520 unit PTS di Indonesia, 70 persen diantaranya memiliki mahasiswa di bawah seribu orang.

Kondisi tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) M. Budi Djatmiko. Dia merinci ada lima persen PTS memiliki mahasiswa di atas 10 ribu orang.

Kemudian 10 persen PTS memiliki mahasiswa antara 5.000 sampai 10 ribu orang. Lalu 10 persen lagi memiliki mahasiswa di angka 2.000 sampai 5.000 orang. Lalu ada lima persen PTS memiliki mahasiswa di rentang 1.000 orang sampai 2.000 orang.

’’Nah yang di bawah seribu orang (mahasiswa, Red) itu ada 70 persen PTS,’’ katanya kemarin. PTS dengan jumlah mahasiswa di bawah seribu orang ini kondisinya sekarang sangat sulit. Banyak mahasiswanya terancam tidak bisa melanjutkan kuliah. Indikasinya adalah dari seretnya mereka membayar SPP.

Budi menjelaskan sekitar 30 persen populasi mahasiswa di PTS kecil atau memiliki seribu mahasiswa itu masuk kategori lancar kuliahnya. Sementara itu 70 persen mahasiswa lainnya pembayarannya agak seret akibat dampak ekonomi pandemi Covid-19. Dalam perkembangannya mahasiswa yang benar-benar kesulitan membayar SPP saat ini berkisar 50 persen saja.

Di tengah kondisi mahasiswa di kampus-kampus kecil yang kesulitan membayar SPP itu, Budi menilai sistem penyaluran bantuan pendidikan pemerintah kurang tepat. Dia mengatakan sistem yang diterapkan pemerintah modelnya adalah kompetisi. Sehingga yang mendapatkan kuota terbanyak adalah PTN atau PTS besar.

Padahal hampir bisa dipastikan mayoritas mahasiswa di PTN atau PTS besar itu adalah anak keluarga mampu. ’’Di tengah pandemi, keluarganya masih memiliki saving,’’ tuturnya.

Sementara mahasiswa-mahasiswa di kampus-kampus kecil itu, sudah benar-benar kesulitan membayar SPP. Padahal Budi mengungkapkan tanggungn SPP mahasiswa di PTS-PTS kecil itu tidak besar. Rata-rata Rp3 juta atau bahkan di bawahnya.

Sehingga jika mereka diberi bantuan oleh pemerintah, beban pemerintah tidak terlalu besar. Namun kondisi yang terjadi sebeliknya. PTS-PTS kecil alias gurem itu kecil peluangnya untuk mengakses bantuan pemerintah. Seperti beasiswa kartu Indonesia pintar (KIP) kuliah.

Sementara itu kondisi di kampus negeri hampir tidak ada masalah signifikan. Kalaupun ada mahasiswa yang kesulitan membayar SPP, tidak sampai menghadapi ancaman DO. Sebab mereka berkesempatan mengajukan keringan SPP atau uang kuliah tunggan (UKT).

Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Nurhasan mengatakan sampai saat ini tidak ada mahasiswanya yang mengalami kesulitan ekonomi sampai terancam DO. Kalaupun ada mahasiswa tingkat akhir yang mengalami hambatan akibat pandemi, beberapa diantaranya mengambil dispensasi perpanjangan semester.

’’Terkait penyesuaian UKT, ada lebih dari seribu mahasiswa (yang mengajukan, Red),’’ katanya. Penyesuaian ini meliputi penurunan tarif UKT bagi yang terdampak tetap dan penurunan tarif UKT untuk satu semester bagi yang terdampak tidak tetap.

Bentuk penyesuaian lainnya adalah bebas atau gratis UKT bagi mahasiswa yang tinggal menyelesaikan skripsi, tugas akhir, tesis, atau disertasi. Alias sudah tidak memiliki tanggungan kuliah lagi. Selain itu Unesa juga membuka klausul penundaan pembayaran UKT selama dua semester.

Rektor UGM Panut Mulyono mengatakan tidak ada mahasiswanya yang terancam DO akibat kesulitan ekonomi di tengah pandemi Covid-19. ’’UGM selalu memberi solusi untuk mahasiswa yang betul-betul tidak dapat membayar uang kuliah,’’ katanya.

Contonya untuk semua mahasiswa bidik misi yang sudah habis beasiswanya dari pemerintah tetapi belum lulus, maka semester I tahun akademik 2020/2021 ini digratiskan tanggungan UKT-nya.

Jika pada semester ganjil ini mereka belum juga lulus, akan dipikirkan solusi berikutnya. Seperti diketahui mahasiswa bidik misi ini adalah mahasiswa berprestasi dari keluarga tidak mampu. Mereka diberi beasiswa dari pemerintah untuk delapan semester saja.

Dikonfirmasi terkait hal ini, Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nizam mengungkapkan, bahwa kebijakan perpanjangan semester sedang berjalan saat ini. kompensasi perpanjangan ini dikhususkan bagi mahasiswa tingkat akhir yang terancam do karena sudah memasuki tahun ketujuhnya.

Misalnya, mahasiswa S-1 angkatan 2013/2014 yang berakhir masa studinya di semester lalu. Mereka diberikan kebijakan perpanjangan (masa studi) satu semester. ”Jadi semester depan ini merupakan semester perpanjangan bagi mahasiswa yang sudah melewati batas studinya,” tuturnya.

Seluruh mahasiswa tersebut akan didorong untuk bisa segera lulus dalam 6 bulan ke depan. Pihaknya pun telah meminta perguruan tinggi untuk membantu kelancaran studi mahasiswa tingkat akhir ini.

Terkait data misalnya. Jika dalam penelitiannya mengharuskan pengumpulan data primer maka bisa dialihkan ke penggunaan data sekunder, studi kasus, kajian aktual terkait pandemi Covid-19, dan lainnya.

Selain itu, laboratorium pun sudah mulai dibuka. Khususnya untuk mahasiswa tingkat akhir yang mengharsukan penelitian di lab. Itu pun, wajib mengikuti protokol yang berlaku.

Nizam pun berpesan pada para rector, jika ada dosen pembimbing yang tidak kooperatif maka harus ditegur. Sehingga, bisa membantu para mahasiswa untuk menyelesaikan studinya.

Lalu, bagaimana jika enam bulan ini masih ada yang tak selesai skripsinya? Nizam mengegaskan, untuk kasus ini bakal dilihat per kasus untuk pemeberian perpanjangan semester berikutnya. ”Yang penting sekarang focus dulu untuk cepat lulus,” tegasnya.

Di sisi lain, Nizam juga menekankan kembali soal keringanan pembayaran UKT untuk mahasiswa. Yang tengah berada di semester akhir, dengan 6 sks tersisa maka diberikan kebijakan pembayaran 50 persen.

Selain itu, UKT dapat disesuaikan bagi mahasiswa yang keluarganya mengalami kendala finansial dampak pandemi Covid-19. Bagi mahasiswa yang sedang cuti kuliah atau tidak mengambil sks sama sekali juga tidak diwajibkan membayar UKT. Seluruhnya diatur jelas melalui Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020.

Bukan hanya itu, anggaran Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah), pemerintah mengalokasikan bantuan biaya pendidikan untuk membayar UKT/SPP untuk 419.000 mahasiswa semester 3, 5 dan 7. Bantuan biaya pendidikan ini 60 persen digunakan untuk membantu mahasiswa di PTS dan 40 persen dialokasikan untuk mahasiswa PTN.

Mahasiswa akan memperoleh bantuan biaya UKT/SPP sebesar Rp 2,4 juta per orang selama satu semester, yakni semester gasal 2020/2021. Untuk itu Kemdikbud mendorong kepada pimpinan PTN dan PTS untuk segera melakukan pendataan terhadap mahasiswa yang membutuhkan bantuan UKT/SPP ini dan mengusulkannya ke Kemdikbud agar mahasiswa segera memperoleh kepastian pembayaran UKT atau SPPnya di semester gasal tahun ini.

Selain itu, Kemdikbud juga mengalokasikan anggaran KIP Kuliah untuk 200.000 mahasiswa baru serta menjamin keberlanjutan alokasi pembiayaan mahasiswa Bidikmisi on going dan beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik) Papua dan Papua Barat pada tahun 2020 ini.

”Ini adalah wujud kepedulian pemerintah pada sektor pendidikan tinggi. Anggaran Kemdikbud telah direalokasi RP 4,99T untuk mitigasi pandemi, anggaran untuk beasiswa, dan bantuan untuk PTS tetap dijaga,” paparnya.

Lebih lanjut Nizam menjelaskan bahwa bantuan biaya UKT/SPP dioptimalkan untuk membantu mahasiswa yang orang tuanya terdampak pandemi Covid-19. Bantuan UKT/SPP ini juga dialokasikan untuk membantu mahasiswa dari daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T).

Nizam juga menghimbau bantuan tersebut juga dapat digunakan untuk memfasilitasi mahasiswa mengikuti perkuliahan daring dalam bentuk pulsa atau paket data koneksi internet.

Dia berharap dengan adanya bantuan ini, mahasiswa dapat melanjutkan perkuliahan dan tidak ada mahasiswa yang putus kuliah karena ketiadaan biaya kuliah. (wan/mia)