Program Merdeka Belajar Dipatenkan Bukan Milik Kemendikbud

ilustrasi

JAKARTA-RADAR BOGOR, Dunia pendidikan geger. Program Merdeka Belajar yang kerap digaungkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tiba-tiba terdaftar sebagai merk dagang milik PT Sekolah Cikal di Kementerian Hukum dan HAM.

Hal tersebut sontak membuat praktisi pendidikan risau. Dikhawatirkan, hal ini justru akan merugikan negara karena harus bayar royalti. Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim menyampaikan, ada kegelisahan yang terjadi pada kalangan guru ketika mengetahui informasi tersebut.

Apakah ketika menggunakan istilah ini berarti ia mempopulerkan sebuah perushaan atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Sebab, seringkali saat ini kegiatan pendidikan menggunakan istilah tersebut, tak terkecuali di tempatnya mengajar. “Sekarang guru dan murid kita sudah sangat populer dengan istilah merdeka belajar,” ujarnya dalam diskusi online kemarin (10/7).

Selain itu, ada ada kekhawatiran ada royalti yang harus dibayar. Mengingat per 22 Mei 2020, Merdeka Belajar ternyata sudah dipatenkan oleh pihak swasta.

Artinya tak lagi milik umum. “Terus terang saya kurang paham soal hak intelektual. Tapi, jadi khawatir, apa implikasinya secara hukum atau hak atas kekayaan intelektual ketika kami gunakan,” paparnya.

Di sisi lain, lanjut dia, secara perusahaan tentu dalam hal ini punya inisiatif dan kreativitas dalam menggunakan idiom ini. Namun perlu diketahui jika idiom ini pun sebetulnya dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara. “Saya tidak bisa menjawab etis atau tidak etis, tapi kita sekarang galau yang pasti,” ungkapnya.

Ia berharap, hal ini tidak membuat para praktisi pendidikan kehabisan energi untuk mengurusinya. Namun, tidak bisa juga digantung, harus clear. Jangan sampai ada interpretasi.

Misalnya, seolah-olah negara menggunakan idiom yang sudah dipakai oleh perusahaan. “Berarti sama saja mempopulerkan perusahaan tersebut,” keluhnya.

Karenanya, kata dia, Kemendikbud harus menjelaskan agar tidak muncul interpreatasi. Apakah ada hubungannya dengan Cikal, sekadar cocokologi, atau insidental. “Tapi saya tidak tahu lagi, kalau melihat di web kemkumham, berdiri 2018 didaftarkan 2020. Merdeka belajar kan muncul November,” tutur guru mata pelajaran PPKN tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, Praktisi Pendidikan sekaligus Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS) Yogyakarta Darmaningtyas mengamini jika sebetulnya konsep merdeka belajar merupakan pemikiran Ki Hajar Dewantara. Di mana, konsepnya memberikan kebebasan kepada bakat dan minat murid.

Menurutnya, salah satu produk sekokah taman siswa dengan konsep merdeka belajar ini ialah Butet Kertarajasa dan alm Djaduk Ferianto. “Jaman mereka, teesedia semua jenis alat musik termasuk gamelan. Anak dibolehkan memilih kegiatan apa saja yang mereka sukai,” paparnya.

Mengenai pematenan idiom tersebut, pria yang akrab disapa Tyas itu menilai, akan jadi masalah jika memang penggunaan idiom ini mengharuskan Kemendikbud membayar royalti. Artinya, negara harus mengeluarkan dana untuk penggunaan istilah ini.

Lebih lanjut dia mengatakan, jika pendaftaran merupakan merek dagang tak jadi soal. Tapi, kembali lagi, kalau itu sesuatu yang sifatnya milik publik lalu dipakai untuk produk suatu perusahaan memang implikasinya cukup luas.

Seperti kasus hak paten yang menimpa seniman bali. Ketika lukisan tersebut sudah berabad-abad berkembang dibali, kemudian tiba-tiba dipatenkan orang luar negeri. Walhasil, sang seniman justru masuk penjara karena dinilai menyalai hak paten.

”Ini menurut saya sisi negatif ketika hal yang sifatnya common publik menjadi mereka suatu dagang atau produk suatu usaha yang diperjualbelikan,” papar Tyas. Sementara konsep merdeka belajar Ki Hajar Dewantara sudah ada sejak dulu.

Tapi kalau ini jadi trade mark suatu perusahaan, nanti siapapun yang bicara merdeka belajar itu bisa dikenai hukum. “Saya kira salah satu sisi negatif dari kapitalisasi ilmu pengetahuan. Ini yang kita khawatirkan,” ungkapnya.

Dirinya sendiri mengaku banyak mencetuskan sejumlah ide yang akhirnya digunakan oleh kementerian. Namun belum pernah kepikiran untuk mematenkan hal tersebut. Yang jelas, dia berharap ini dapat diclearkan. Dan tentunya tak ada royalti yang dipungut dari penggunaan idiom tersebut.

Merespons gonjang-ganjing ini, Founder Sekolah Cikal Najeela Shihab memaparkan bahwa pihaknya tidak akan mengambil royalti sepeserpun dari penggunaan idiom merdeka belajar.

Artinya, negara atau siapapun yang menggunakan sitilah tersebut tak akan dikenakan kewajiban membayar kompensasi. “Apakah ada royalti atau kompensasi, jawabannya tidak,” ujarnya dalam diskusi yang sama.

Tapi, lanjut dia, jika menyangkut soal pematenan program Merdeka Belajar dalam bentuk pelatihan, penerbitan buku maka jawabannya sudah. Hal teesebut sudah di dilakukan oleh Kampus Guru Cikal dan Komunitas Guru Belajar (KGB). “Tapi saya tekankan bahwa niatnya (mematenkan, red) bukan untuk komersilasasi,”tegasnya.

Mengenai pendaftaran pun, disebutnya sudah dilakukan jauh-jauh hari. Tepatnya pada 2018 lalu. Namun karena proses yang cukup lama, sehingga baru disetujui pada 2020 ini.(jpc)