BOGOR–RADAR BOGOR, Menanggapi 39.975 warga Bogor dinonaktifkan sebagai peserta BPJS Kesehatan penerima bantuan iuran (PBI) APBN tahun ini, Ketua Yayasan Visi Nusantara Maju, Yusfitriadi mengungkapkan, sekali lagi ini masalahnya pada validitas data.
Selain akurasi dan validitas data, juga terkait transparansi dan akuntabilitas data. Selain itu, disini juga akan sangat berhubungan erat dengan integrasi data dari berbagai steakholder lembaga di pemerintahan.
“Yang saya maksud dengan validitas dan akurasi data adalah, data penerima bantuan yang dihapus dalam BPJS merupakan data aktif yang sangat mungkin berhubungan erat dengan kepemilikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di kota bogor, begitupun sebaliknya. Sebagai data pengganti yang dihapus juga berhubungan dengan kepemilikan NIK terbaru penduduk di Kota Bogor,” paparnya pria yang juga aktif sebagai pengamat sosial ini.
39.975 Warga Bogor Dinonaktifkan Sebagai Peserta BPJS Kesehatan
Ketika data kependudukan Kota Bogor bermasalah, maka baik yang dihapus maupun menggantikan penerima bantuan BPJS juga akan bermasalah. Dan ketika bermasalah, maka sudah bisa dipastikan penerima bantuan BPJS tersebut tidak akan tepat sasaran.
Menurut dia, bukan masalah berapa yang dihapus dan berapa penggantinya, namun lebih pada pertanggungjawaban atas ketepatan sasaran penerima bantuan tersebut.
Begitupun terkait dengan transparansi dan akuntabilitas data, selama ini basis data lebih melekat berada di wilayah kota atau kabupaten, sehingga sangat jauh dari jangkauan masyarakat.
“Yang pada akhirnya muncul permasalahan efektifitas ketepatan sasaran penerima bantuan karena masyarakat tidak kuasa mengontrol data tersebut,” papar pria yang juga Direktur DEEP itu.
Akan beda daya kontrol masyarakat, ketika basis data ada di tingkat desa bahkan RT dan RW dengan disosialisasikan di tengah-tengah publik. Masyarakat akan bisa mengontrol validitas dan akurasi data tersebut.
Selain itu masalah itegritas data. Data dinas sosial, dinas kesehatan dan dinas-dinas lainnya yang mempunyai relasi kuat dengan berbagai bantuan masyarakat nampak tidak mempinyai integrasi yang kuat.
Hal itu, kata dia, bisa dibuktikan dilapangan, apakah bantuan sosial baik dari pusat, propinsi maupun kabupaten terinterasi dengan data kesehatan, ekonomi dan pendidikan.
“Saya melihatnya tidak kuat itegrasi data tersebut. Semua masalah di atas akan erat kaitannya dengan kiberja pendataan dan frekwensi pengambilan data yang lemah. Saya berharap kerancuan masalah data tersebut bisa diatasi dengan pwngambilan data bersifat partisipatif,” paparnya.
Artinya, sambung dia, pemerintah harus bejerjasama dengan lembaga yang ada di masyarakat dalam pengambilan basis data secara keberlanjutan.
Saat ini data yang dimiliki oleh pemerintah, departemen manapun itu diambil oleh instrumen struktur pemerintah, sehingga independensi data dipertanyakan.
Dan pada akhirnya ketepatan sasaran berbagai program pemerintah tidak bisa dipertanggubgjawabkan bahkan terkadang berbuah kegaduhan di tengah-tengah masyarakat.(cr2)