25 radar bogor

TB Hasanuddin: Cita-cita Jatuhkan Presiden Bagai Mimpi di Siang Bolong

Janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal penuntasan pelanggaran HAM dan kasus intoleransi masih terus ditagih oleh Setara Institute. (Dery Ridwansah/JawaPos.com)
Janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal penuntasan pelanggaran HAM dan kasus intoleransi masih terus ditagih oleh Setara Institute. (Dery Ridwansah/JawaPos.com)

Janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal penuntasan pelanggaran HAM dan kasus intoleransi masih terus ditagih oleh Setara Institute. (Dery Ridwansah/JawaPos.com)

JAKARTA-RADAR BOGOR, Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), TB Hasanuddin menanggapi maraknya isu pemakzulan Presiden yang berkembang akhir-akhir ini. Isu ini bahkan menimbulkan kegaduhan tersendiri di masyarakat apalagi saat ini Indonesia masih bergulat melawan pandemi covid-19.

“Tidak mudah menurunkan Presiden pilihan rakyat. Proses pemakzulan Presiden cukup sulit,” kata Hasanuddin kepada wartawan, Kamis (4/6/2020).

Hasanuddin membeberkan dengan konfigurasi koalisi partai politik saat ini, proses pemakzulan Presiden nyaris tak mungkin. Bila memang terjadi, mekanismenya DPR harus menggunakan Hak Menyatakan Pendapat (HMP).

HMP itu termasuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di dalam atau di luar negeri. Atau, terdapat dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum atau pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, maupun tindakan tercela, sebagaimana diatur Pasal 79 Ayat (4) UU MD3.

“Hak menyatakan pendapat ini diusulkan oleh minimal 25 orang anggota DPR, dan bila memenuhi persyaratan administrasi dapat dilanjutkan dalam sidang paripurna,” katanya.

Hasanuddin menegaskan, keputusan ini akan sah bila dihadiri oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR. Dan, minimal 2/3 dari jumlah yang hadir itu menyetujuinya, sebagaimana bunyi Pasal 210 Ayat (1) dan (3) UU MD3.

Bila keputusannya disetujui, imbuhnya, maka wajib dibentuk Pansus yang anggotanya terdiri dari semua unsur fraksi di DPR. Hal itu merujuk Pasal 212 ayat (2) UU MD3.

“Setelah Pansus bekerja selama paling lama 60 hari, hasilnya kemudian dilaporkan dalam rapat paripurna DPR,” katanya.

Ia menegaskan, keputusan DPR atas laporan Pansus dianggap sah bila anggota yang hadir minimal 2/3 dari jumlah seluruh anggota DPR dan disetujui oleh 2/3 anggota yang hadir. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 213 Ayat (1) dan Pasal 214 Ayat (4) UU MD3.

Persetujuan DPR ini selanjutnya dilaporkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) disertai bukti dan dokumentasi pelengkapnya.

“MK kemudian bersidang, dan bila MK menyatakan terbukti maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR, seperti diatur dalam Pasal 215 Ayat (1) UU MD3,” ujarnya.

Setelah itu, MPR lalu melakukan sidang paripurna untuk memutuskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR. Lebih lanjut Hasanuddin mengatakan, keputusan MPR terhadap pemberhentian tersebut dinyatakan sah apabila diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Itu sesuai bunyi Pasal 38 Ayat (3) UU MD3. “Melihat komposisi koalisi fraksi-fraksi pendukung Presiden di DPR, rasanya seperti mimpi di siang bolong kalau kemudian ada yang bercita-cita melengserkan Presiden pilihan rakyat,” tegasnya.

Bila kemudian ada aspirasi menurunkan Presiden lewat aksi anarkis di jalanan, Hasanuddin menegaskan hal tersebut melanggar UU bahkan dapat dikenakan tindakan pidana makar. Dia mengingatkan semua pihak, inilah demokrasi yang disepakati dan menjadi kesepakatan nasional.

“Diskusi ilmiah dengan norma akademis mengenai pemakzulan sih boleh-boleh saja karena dijamin menurut UU. Tapi, kalau aksi anarkis minta Presiden diturunkan di jalanan, itu telah melanggar ketentuan,” tukasnya. (ysp)