25 radar bogor

Muncul Petisi Tunda Pilkada Demi Kesehatan dan Keselamatan Publik

Ilustrasi pilkada serentak
Ilustrasi pilkada serentak
Ilustrasi

JAKARTA-RADAR BOGOR, Kurva kasus Covid-19 harian sampai saat ini masih mengalami peningkatan. Ratusan kasus positif bertambah setiap harinya. Sementara Pemerintah dan DPR tetap sepakat melaksanakan Pilkada 2020.

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pilkada Sehat yang terdiri dari berbagai organisasi dan tokoh publik seperti Netgrit, Netfid, Perludem, PUSaKO FH Unand, Puskapol UI, Rumah Kebangsaan, Kopel, JPPR, KIPP Indonesia, dan PPUA Disabilitas memulai petisi daring di laman change.org agar penyelenggaraan pilkada, yang semestinya digelar pada Desember 2020 ditunda ke tahun 2021.

Sebagai salah satu anggota koalisi, Hadar Nafis Gumay mengingatkan jika Pilkada tetap dilaksanakan pada Desember 2020, KPU memiliki dua opsi jadwal untuk memulai kerja tahapan pemilihan lanjutan, yakni 6 Juni atau 15 Juni 2020. Sementara sampai saat ini kurva kasus positif covid19 masih terus meningkat. Juga, belum ada satupun peraturan KPU dapat digunakan sesuai dengan konteks pandemi.

Hadar menegaskan sebelum membuat petisi mereka sudah berusaha menyalurkan pemikiran soal penundaan pilkada lewat diskusi ke Pemerintah, KPU, maupun Anggota Komiso II, tapi pemerintah tetap pada pendirian untuk melaksanakan pilkada 2020.

“Pemikiran sudah kami salurkan lewat diskusi tapi pemerintah tetap pada pendirian untuk melaksanakan pilkada desember 2020. Karena itu kami memikirkan cara lain yaitu mengumpulkan aspirasi bahwa pilkada tidak seharusnya tetap dilakukan dengan kualitas yang menurun,” jelas Hadar lewat Diskusi Publik (27/05/2021).

Dalam petisi di laman Change.org, Koalisi menjelaskan kalau dalam Perpu No.2/2020 yang dikeluarkan 4 Mei lalu tidak ada pasal-pasal mengenai teknis kepemiluan sesuai protokol kesehatan covid19 dan penyesuaian anggaran selama penyelenggaraan Pilkada. Dengan kata lain, tahapan Pilkada masih dijalankan dengan ketentuan di UU Pilkada yang ada.

Petisi selengkapnya dapat dibaca di www.change.org/janganpilkadadulu

Penyelenggaraan pilkada di masa pandemi juga dikhawatirkan akan adanya politisasi Bantuan Sosial sebagai media kampanye petahana-petahana kepala daerah. Dahlia Umar (27/05/2021), salah satu anggota koalisi menjelaskan kalau selama penyaluran Bansos tidak jarang kepala/pejabat daerah mengatasnamakan dirinya sebagai pemberi bansos. Menurutnya, praktik politisasi bansos seperti ini tentu merugikan peserta yang bukan petahana.

Hak hidup dan hak kesehatan menjadi alasan koalisi menuntut penundaan Pilkada 2020. Lewat Diskusi Publik (27/05/2021), Feri Amsari tegaskan Hak untuk hidup secara prinsip harus didahulukan dari hak politik.

“Bayangkan kalau proses pilkada yang jadi kewajiban disaat kondisi pandemi. Kebijakan negara terkait pilkada tidak memberi kepastian pertanggungjawaban kepada publik. Semangat Pemerintah memberi jaminan tidak menyebarnya virus covid19 selama proses pilkada belum tergambar sampai saat ini,” tegas Feri.

Feri menyarankan kepada penyelenggara pemilu agar lebih tegas, tidak hanya menyelamatkan peserta dan pemilih, tetapi juga diri mereka sendiri sebagai penyelenggara. Ia menekankan pemilu serentak lalu yang memakan banyak korban penyelenggara padahal itu masa normal.

“Sebelumnya kita sudah dikecewakan dengan korban-korban penyelenggara di pemilu sebelumnya di masa normal, apalagi di masa new normal saat ini. Jangan sampai terulang kembali,” tegas Feri.

Di akhir diskusi publik, Titi Anggraini merangkum tiga motif pemerintah menyelenggarakan pilkada 2020. Diantaranya adalah motif ekonomi. Pilkada 2020 akan seolah-olah memberi impresi kepada masyarakat kalau ekonomi baik-baik saja. Kedua adalah motif politik, yakni petahana dan non petahana yang tidak percaya diri jika pilkada dilaksanakan tahun 2021.

Ketiga adalah kurang serius dengan kondisi covid19 di Indonesia. Dampak covid19 dianggap tidak separah yang dibayangkan, karena jumlah kasus positifnya tidak sebanding dengan negara lain. Titi menegaskan penting untuk menunda pilkada ke 2021 agar waktu, kesiapan, adaptasi dan kualitas pilkada tetap terjaga.

“Memaksakan penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi berpotensi menimbulkan lebih banyak mudharat daripada manfaat. Diantaranya, terpaparnya banyak orang yang terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada dengan COVID-19, politisasi bantuan sosial, kontestasi yang tak setara bagi peserta pemilu petahana dan non petahana, dan turunnya partisipasi pemilih”, tutup Titi di petisi.(*)