25 radar bogor

PAD Meleset, Hati-hati Penyaluran Bansos

Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Provinsi Jawa Barat, Asep Wahyuwijaya

BOGOR – RADAR BOGOR, Berbagai upaya dilakukan pemerintah, untuk membantu masyarakat yang perekonomiannya terganggu karena dampak pandemi Covid-19 (corona). Salah satunya, melalui bantuan sosial (Bansos).

Hal tersebut menjadi perhatian Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Provinsi Jawa Barat, Asep Wahyuwijaya. Menurutnya, Pemprov Jabar untuk kebutuhan Covid-19 ini sudah membuat tiga kali pergeseran APBD untuk keperluan refocusing dan realokasi.

Pemprov Jabar, kata dia, melakukan penyesuaian target pendapatan daerah sebesar 19,17 persen dari target APBD murni sebesar Rp41,58 Triliun menjadi Rp33,60 Triliun.

Pria yang biasa disapa kang AW itu mengatakan, hal itu terjadi karena adanya penurunan pada pendapatan asli daerah (PAD) khusunya yang bersumber dari pajak daerah sebesar 30,14 persen dari target semula Rp25,23 Triliun menjadi Rp17,62 Triliun.

Lebih lanjut kang AW mengatakan, kontribusi penurunan pajak daerah terbesar dari pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB).

“Target PKB semula diperkirakan Rp11,71 Triliun menjadi Rp4,36 Triliun atau turun sebesar 37,24 persen,” ungkap legislator dapil Kabupaten Bogor itu.

Sedangkan, kata dia, BBNKB terkoreksi sebesar Rp30,78 persen dari target Rp6,52 Triliun menjadi Rp 4,51 triliun. “Simulasi PAD ke depan tentu tidak akan bisa merujuk pada triwulan pertama ini. Karena asumsi pendapatan yang diakibatkan wabah covid-19 ini dengan adanya kebijakan PSBB tentu akan semakin jauh meleset juga. Konsekuensinya, kemampuan Pemprov Jabar untuk mendanai bansos pun akan menjadi semakin terbatas,” paparnya.

Kang AW menambahkan, ada beberapa catatan terkait penanganan wabah Covid-19. Pertama, sambung dia, sebagai akibat dari dikeluarkannya Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 tanggal 31 Maret 2020.

“Keterlibatan parlemen mulai DPR RI, DPRD Provinsi, hingga DPRD Kota dan Kabupaten dalam urusan penganggaran sudah tidak ada hak sama sekali,” ungkapnya kepada Radar Bogor.

Tak hanya itu, kata dia, sebagai akibat dari telah diamputasinya hak anggaran parlemen dalam hal penanganan wabah covid-19, protokol penanganan termasuk anggaran yang diperlukannya pun menjadi eksekutif-sentris.

“Desain dan skenario kebijakan dalam hal penanganan wabah, termasuk dari mana sumber penganggarannya bertumpu pada kepiawaian Presiden dan kepala daerah saja,” katanya.

Ia menambahkan, sewaktu-waktu memang ada komunikasi antara pihak eksekutif dengan legislatif, terkait rencana penanganan wabah ini.

Secara legal, tutur kang AW, saran dan pertimbangan dari legislatif itu bisa saja menjadi macan ompong (non-executable) sifatnya.

Selanjutnya, ia mengaku, sangat memahami bahwa potensi ricuh akan sangat mungkin terjadi saat pembagian bantuan sosial dilakukan kepada warga apabila distribusinya dianggap tidak proporsional jumlahnya.

Tak hanya itu, fenomena penolakan untuk menerima bantuan yang terjadi di hampir seluruh pelosok Jawa Barat ini, meskipun sifatnya belum massif namun bagaimana pun harus diantisipasi sedini mungkin.

“Saya dan rekan-rekan di DPRD Provinsi Jawa Barat, sudah berkali-kali mengingatkan akan munculnya potensi ricuh itu. Hanya seperti saya bilang di awal, karena alasan Perppu 1/2020 itu maka saran dan peringatan kami sah-sah saja apabila dianggap angin lalu oleh Kepala Daerah,” paparnya.

Ia menegaskan, secara ekstrem pernah menyampaikan saat forum rapat pimpinan DPRD Provinsi Jabar beserta jajaran Satgas Covid-19 Provinsi Jabar. “Hati-hati, dengan skenario pemberian bansos kepada warga,” ucap pria berkacamata itu.

Jika tak matang perencanaannya, ia memperkirakan, alih-alih membantu warga yang terdampak tapi Pemprov Jabar justru bisa menjadi pemicu (trigger) terjadinya gejolak sosial di akar rumput.

“Lalu, mengapa kericuhan ini bisa terjadi ? Sederhana saja kok jawabannya adalah pemerintah punya uang berapa banyak ?,” katanya.

Ia menuturkan, masalahnya bukan pada berapa pintu yang disediakan bagi warga yang berhak untuk menerima bantuan. Namun, saat ini adalah pada seberapa besar ruang fiskal yang dimiliki. Kang AW menyoroti bahwa krisis ekonomi yang bakal ditimbulkan akibat wabah Covid-19 saat ini, sangat berbeda dengan krisis tahun 1998.

“Kalau tahun 1998, meskipun para konglomerat hancur bisnisnya namun ekonomi rakyat dengan kekuatan sektor informalnya masih mampu menggerakan ekonomi warga di arus bawah,” tegasnya.

Kang AW mengungkapkan, kini perputaran ekonomi formal di tingkat atas dan kekuatan di sektor informal di arus bawah sama-sama hancurnya. Sehingga, warga yang terkategori miskin baru (misbar) jumlahnya menjadi semakin banyak.

“Kondisi perekonominan ini yang sekarang terjadi, dan harus diwaspadai oleh semua tingkatan pemerintah ketika akan meluncurkan program Bansos,” katanya.

Ia juga mengaku, prihatin dengan adanya aksi unjuk rasa puluhan pengurus RT dan RW se-Kelurahan Sukahati, Kecamatan Cibinong.

“RT dan RW protes ke pemerintah pusat dan provinsi. Bantuan dari Pemkab Bogor belum diturunkan kan ? Tindakan itu sudah tepat. Kebijakan pemerintah diatasnya kan berubah-ubah juga. Jadi, sebaiknya Pemkab Bogor wait and see dulu,” pungkasnya.
(*/cr4)