25 radar bogor

Pembagian Bansos Bergantung Kesiapan Anggaran

Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Provinsi Jawa Barat, Asep Wahyuwijaya

ADA beberapa catatan kritis yang ingin saya sampaikan, terkait penanganan wabah Covid-19. Pertama, sebagai akibat dari dikeluarkannya Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 tanggal 31 Maret 2020.

Keterlibatan parlemen mulai DPR RI, DPRD Provinsi, hingga DPRD Kota dan Kabupaten dalam urusan penganggaran sudah tidak ada hak sama sekali.

Kedua, sebagai akibat dari telah diamputasinya hak anggaran parlemen dalam hal penanganan wabah covid-19, protokol penanganan termasuk anggaran yang diperlukannya pun menjadi eksekutif-sentris.

Desain dan skenario kebijakan dalam hal penanganan wabah, termasuk dari mana sumber penganggarannya bertumpu pada kepiawaian Presiden dan kepala daerah saja.

Sewaktu-waktu, memang ada komunikasi antara pihak eksekutif dengan legislatif, terkait rencana penanganan wabah ini. Namun, secara legal, saran dan pertimbangan dari legislatif bisa saja menjadi macan ompong (non-executable) sifatnya.

Ketiga, kita sangat memahami bahwa potensi ricuh akan sangat mungkin terjadi saat pembagian bantuan sosial dilakukan kepada warga apabila distribusinya dianggap tidak proporsional jumlahnya.

Fenomena penolakan untuk menerima bantuan yang terjadi di hampir seluruh pelosok Jawa Barat ini, meskipun sifatnya belum massif namun bagaimana pun harus diantisipasi sedini mungkin.

Saya dan rekan-rekan di DPRD Provinsi Jawa Barat, sudah berkali-kali mengingatkan akan munculnya potensi ricuh itu. Hanya seperti saya bilang di awal, karena alasan Perppu 1/2020 itu maka saran dan peringatan kami sah-sah saja apabila dianggap angin lalu oleh Kepala Daerah.

Secara ekstrem, saya pernah juga sampaikan pada saat forum rapat pimpinan DPRD Provinsi Jabar beserta jajaran Satgas Covid-19 Provinsi Jabar. Hati-hati, dengan skenario pemberian bansos kepada warga.

Jika tak matang perencanaannya, maka alih-alih membantu warga yang terdampak tapi Pemprov Jabar justru bisa menjadi pemicu (trigger) terjadinya gejolak sosial di akar rumput. Lalu, mengapa kericuhan ini bisa terjadi ? Sederhana saja kok jawabannya : pemerintah punya uang berapa banyak ?

Jadi, masalahnya itu bukan pada berapa pintu yang disediakan bagi warga yang berhak untuk menerima bantuan. Namun, pada seberapa besar ruang fiskal yang kita miliki. Itu saja. Tolong digarisbawahi juga bahwa krisis ekonomi yang bakal ditimbulkan akibat wabah Covid-19 sekarang ini amat berbeda dengan krisis ekonomi pada tahun 1998.

Kalau pada tahun 1998, meskipun para konglomerat hancur bisnisnya namun ekonomi rakyat dengan kekuatan sektor informalnya masih mampu menggerakan ekonomi warga di arus bawah.

Nah, kalau sekarang perputaran ekonomi formal di tingkat atas dan kekuatan ekonomi di sektor informal yang di arus bawah itu sama-sama hancurnya. Jadi, warga yang terkategori miskin baru (misbar) itu jumlahnya menjadi amat banyak.

Kondisi perekonominan ini yang sekarang terjadi, dan harus diwaspadai oleh semua tingkatan pemerintah ketika akan meluncurkan program Bansos. (*)

ASEP WAHYUWIJAYA
Ketua Fraksi Partai Demokrat
DPRD Provinsi Jawa Barat