25 radar bogor

Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Akibat Virus Corona (Covid-19) ; WHO Is The Frontliner?

Coronavirus Disease 2019 atau COVID-19 adalah penyakit baru yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan pernapasan dan radang paru. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2).

Penyakit Covid 19 ini dalam kurung waktu 3-4 bulan terakhir dari sejak awal dilaporkan kasus pertamanya pada awal Januari 2020 di Wuhan, Tiongkok, China telah merebak hampir ke seluruh negara di dunia dan telah ditetapkan oleh WHO (World Health Organisation) sebagai pandemi pada tanggal 11 maret 2020, yakni penyakit yang menular secara global (outbreak global) dan menjadi wabah secara local pada negara yang terpapar.

Penetapan itu didasarkan pada persebaran virus secara geografi yang telah mencapai 178 negara per 31 Maret 2020 dengan jumlah kasus penyakit yang terus meningkat secara signifikan.

Hanya sekitar 3 bulan saja sejak kasus pertama dilaporkan kini telah mencapai 788.522 kasus yang terkonfirmasi positif dengan total kematian 37.878 jiwa.

Berbagai langkah dan strategi yang diambil oleh para pemimpin dunia dalam rangka mencegah dan menangani Pandemi Virus Corona COVID-19 ini, ada yang melakukan himbauan social distancing yang kemudian istilah ini dirubah oleh WHO mejadi physical distancing yaitu menjaga jarak secara fisik ditempat umum minimal 1-2 meter dan menghindari kerumunan dan adapula negara yang menerapkan kebijakan lockdown yaitu kebijakan pelarangan mobilitas warga untuk tidak keluar-masuk ke suatu tempat/lokasi karena kondisi darurat atau menutup wilayah perbatasan, agar tidak ada pergerakan orang yang masuk atau keluar dari wilayah tersebut.

Demikian halnya negara kita Indonesia, pemerintah akhirnya mengambil kebijakan berupa himbauan bagi seluruh warga negara terutama di daerah red zone dengan transmisi lokal untuk melakukan social distancing/physical distancing yang kemudian berimplikasi pada pembatasan kegiatan yang melibatkan banyak orang dan penutupan tempat-tempat umum seperti sekolah dan kampus diliburkan.

Anjuran bagi instansi dan perusahaan untuk merumahkan karyawannya dengan work from home atau bekerja dari rumah meskipun banyak pakar kesehatan masyarakat yang menilai langkah ini kurang efektif jika hanya sekedar himbauan dan tidak diikuti oleh regulasi yang jelas dan tegas sehingga sudah hampir sebulan sejak pertama kali kasus dikonfirmasi positif dan kebijakan ini diberlakukan tidak ada perubahan signifikan, jumlah kasus makin meningkat secara eksponensial dalam kurun waktu 3 minggu mencapai 1.414 kasus terkonfirmasi positif dan 122 jiwa yang meninggal.

Kebijakan inipun terkesan diabaikan oleh sebagian warga yang tidak punya pilihan work frome home untuk tetap keluar rumah karena alasan ekonomi, bahkan banyak yang akhirnya mudik dan menyebabkan penularan makin meluas ke daerah karena mobilitas antar daerah tidak ditutup sehingga tadinya beberapa provinsi di Indonesia tidak terdapat kasus tiba-tiba meningkat drastis jumlahnya, kebijakan ini akhirnya menjadi pro kontra diberbagai pihak.

Kebijakan pemerintah dinilai tidak tepat dan salah strategi dari awal Covid 19 ini merebak di Indonesia karena menempatkan para medis (dokter dan perawat) di garda terdepan.

Ibarat dalam situasi peperangan, dalam menghadapi, mencegah dan menangani penularan penyakit Covid 19 ini dimana Tenaga Kesehatan baik para medis (dokter), perawat dan tenaga kesehatan masyarakat lainnya dianggap sebagai prajurit perang untuk melindungi kedaulatan negara dan rakyatnya.

Sebagai panglima perang, pemimpin negara diharapkan mampu mengatur strategi dalam menempatkan prajuritnya dimedan perang. Strategi yang mumpuni dan tepat sasaran tentu akan mempermudah dalam proses pembentukan kekuatan pertahanan.

Ada prajurit yang ditempatkan pada benteng pertahanan pertama yang disebut sebagai Garda Terdepan untuk menghadapi musuh, posisi ini sangat penting, sebab ia bagaikan pintu dalam sebuah rumah jika pintu ini berhasi didobrak makan keamanan dan keselamatan seisi rumah akan terancam.

Ada pula prajurit yang ditempatkan pada benteng pertahanan paling belakang atau bisa dikatakan sebagai Garda Terakhir, ini tak kalah pentingnya bahkan sangat vital sebab jika sampai musuh berhadapan dengan prajurit di benteng pertahanan terakhir ini maka selangkah lagi musuh akan menguasai rumah kita, negara beserta rakyatnya dalam kondisi diujung tanduk. Pertanyaanya, dalam peperangan dalam menghadapi Covid 19 ini siapa Garda Terdepannya? Who is the Frontliners?

BerdasarkaN UU No. 36 Tahun 2014 menyebutkan bahwa yang dimaksud sebagai tenaga kesehatan adalah a. tenaga medis (dokter) ; b. tenaga psikologi klinis; c. tenaga keperawatan; d. tenaga kebidanan; e. tenaga kefarmasian; f. tenaga kesehatan masyarakat (tenaga kesmas) yang terdiri dari Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM), epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga.); g. tenaga kesehatan lingkungan (tenaga sanitasi lingkungan, entomolog kesehatan, dan mikrobiolog kesehatan); h. tenaga gizi; i. tenaga keterapian fisik; j. tenaga keteknisian medis; k. tenaga teknik biomedika;

l. tenaga kesehatan tradisional; dan m. tenaga kesehatan lain. Pemerintah baik presiden sendiri maupun melalui juru bicara penanganan Covid 19 secara nasional mereprentasikan dalam setiap pernyataannya bahwa garda terdepan dalam upaya pencegahan dan penanganan Covid 19 ini adalah para medis yang terdiri dari Dokter dan Perawat yang telah berjuang mati-matian di garis pertahanan terdepan, sekilas tidak ada yang salah dalam pernyataan ini karena memang benar Dokter dan Perawat-lah beserta para tenaga kesehatan lainnya di Rumah Sakit (RS) yang sibuk ketika ada pasien yang positif Covid 19, namun menempatkan mereka di garda terdepan dalam peperangan ini adalah hal yang sangat keliru dan merupakan strategi yang salah sebab dalam penanganan pandemi Covid 19 ini Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) harus dikedepankan dimana domain utamanya adalah Upaya Preventif (Pencegahan) baru kemudian Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dimana domain utamanya adalah Upaya Kuratif (Pengobatan).

Artinya jika menempatkan para medis dokter dan perawat di garda terdepan maka dalam hal ini kita mengedepankan upaya kuratif atau mengobati dan menyimpan upaya preventif atau pencegahan dibelakangnya.

Pemerintah menempatkan peran paramedis digarda terdepan terlihat pada beberapa kebijakan yang diambil salah satunya adalah mengucurkan banyak dana untuk membangun RS darurat beserta dengan segala perlengkapan medis yang dibutuhkan, sebenarnya bukan hal salah hanya strateginya menjadi bias mau mencegah penularan Covid 19 atau mengharapkan jatuh korban hingga yang disiapkan RS dahulu tanpa mengedapankan langkah-langkah preventif yang tepat sasaran.

Jika langkah preventif diambil selangkah lebih cepat maka tidak perlu membangun RS-RS dadakan untuk perawatan maupun karantina. Dalam pernyataan pers presiden tentang langkah perlindungan sosial dan stimulus ekonomi menghadapi dampak Covid 19 (Jakarta, 31 Maret 2020) kebijakan yang spesifik untuk bidang kesehatan akan disediakan dana sebesar Rp 75 Triliun akan digunakan untuk :

1. Perlindungan tenaga kesehatan, terutama pembelian APD
2. Pembelian alat-alat kesehatan yang dibutuhkan, seperti: test kit, reagen, ventilator, hand sanitizer dan lain-lain sesuai standar yang ditetapkan Kementerian Kesehatan.
3. Upgrade 132 rumah sakit rujukan bagi penanganan pasien Covid-19, termasuk Wisma Atlet.
4. Insentif dokter (spesialis Rp 15 juta/bulan), dokter umum (Rp 10 juta), perawat Rp 7.5 juta dan tenaga kesehatan lainnya Rp 5 juta, santunan kematian tenaga medis Rp 300 juta, dukungan tenaga medis, serta penanganan kesehatan lainnya.

Dari semua poin-poin tersebut diatas tak satupun arahan jelas menuju ke upaya preventif untuk menekan penularan Covid 19 agar tidak semakin meluas ke daerah, tidak ada langkah kongkrit yang diambil, pelibatan tenaga kesehatan masyarakat menjadi kabur tidak terlihat.
Padahal opsi karantina wilayah sudah sangat jelas dan banyak disarankan oleh para ahli kesehatan mayarakat, terutama pendapat para epidemiolog yang sangat mengerti tentang distribusi penularan penyakit, bahkan forum guru besar Universitas Indonesiapun telah menggaungkan perihal karantina wilayah ini.

Pertimbangan local lockdown atau karantina wilayah secara selektif dapat menjadi salah satu alternatif bagi Indonesia, mengambil langkah menutup sebuah wilayah/provinsi yang sudah terjangkit infeksi COVID-19, dengan demikian diharapkan dapat memutuskan rantai penularan infeksi baik di dalam maupun di luar wilayah.

Karantina wilayah disarankan dilakukan selama minimal 14 hari, di provinsi-provinsi yang menjadi epicentrum (zona merah) penyebaran COVID-19 atau daerah lain dengan berbagai pertimbangan.

Karantina wilayah akan memudahkan negara untuk menghitung kebutuhan sumber daya untuk penanganan di rumah sakit (sumber daya manusia, alat pelindung diri/APD, fasilitas RS).

Pelaksanaan local lockdown ini dilakukan dengan melibatkan kerja sama lintas sektor yang matang dan melibatkan pemerintah daerah. Namun lagi-lagi dimentahkan.

Pernyataan presiden yang mengatakan bahwa “kita harus fokus pada upaya pencehan penyebaran covid 19 agar tidak meluas penularannya dengan membatasi pergerakan orang” tidak sejalan dengan kebijakan yang diambilnya.

Menurut konsep Five Level Of Prevention yang di populerkan oleh Leavel and Clark bahwa dalam upaya pencegahan penyakit terdapat 5 tahapan utama, yakni : 1. Health Promotion (Promosi Kesehatan); 2. Spesific Protection (Perlindungan Khusus); 3. Early Diagnosis and Prompt Treatment (Diagnosis Dini dan Pengobatan yang Cepat dan Tepat); 4. Disability Limitation (Pembatasan Kecacatan); dan 5. Rehabilitation (Rehabilitasi).

Dari sini kita bisa melihat bahwa konsep Five Level Of Prevention ini menempatkan promosi kesehatan di tahapan pertama dan utama dalam upaya pencegahan penyakit dan merupakan ujung tombak yang mampu menggerakan secara sosial atau masyarakat banyak yang nantinya bisa menjadi suatu kebiasaan lalu berkembang menjadi suatu kultur atau budaya.

Promosi kesehatan ini merupakan semua upaya yang menekankan pada perubahan sosial, pengembangan lingkungan, pengembangan kemampuan individu dan kesempatan dalam masyarakat, dan merubah perilaku individu, organisasi dan sosial untuk meningkatkan status kesehatan individu dan masyarakat.

Upaya diagnosis dini dan pengobatan yang cepat dan tepat justru berada pada level ke tiga setelah Health Promotion dan Spesific Protection.

Promosi kesehatan ini merupakan proses yang memungkinkan individu untuk meningkatkan derajat kesehatannya. Termasuk didalamnya adalah sehat secara fisik, mental dan sosial sehingga individu atau masyarakat dapat merealisasikan cita-citanya, mencukupi kebutuhan-kebutuhannya, serta mengubah atau mengatasi lingkungannya.

Kesehatan ini merupakan sumberdaya kehidupan yang tidak dapat dilepaskan dari social dan kekuatan personal. Jadi promosi kesehatan tidak hanya bertanggungjawab pada sektor kesehatan saja, melainkan juga gaya hidup untuk lebih sehat.

Pencegahan dan penangan Covid 19 sangat ditentukan oleh pola perilaku atau gaya hidup bersih dan sehat dari masyarkat, siapakah yang bertugas untuk membangun pola perilaku atau gaya hidup bersih dan sehat dari masyarkat itu? Siapa yang akan menjamin, mengedukasi, menggerakkan dan memobilisasi masyarakat agar mereka senantiasa menerapkan kebiasaan-kebiasaan yang mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat diapangan? Siapakah tenaga kesehatan yang dimaksud dalam aturan perundang-undangan kita yang bertugas sebagai promotor kesehatan? Jawabannya tentu bukan Dokter, bukan Perawat karena mereka harus stay di RS atau di pusat layanan kesehatan memastikan pengobatan pasien.

Jadi semua prajurit punya tupoksi masing-masing, yang avalaible dilapangan bertugas mengedukasi masyarakat adalah para tenaga kesehatan masyarakat yang mana didalamnya ada Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM), epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga, tenaga kesehatan lingkungan seperti tenaga sanitasi lingkungan, entomolog kesehatan, dan mikrobiolog kesehatan, mereka inilah garda terdepannya. The frontliner is The Public Health.

Peran tenaga kesmas inilah yang akan menguatkan secara teknis dari kebijakan preventif pemerintah, yang langsung berhadapan dengan masyarakat, menahan laju penyebaran penyakit agar tidak sampai pada garis pertahan dibelakang yakni mencegah orang sakit agar tak sampai dirawat di RS. Seharusnya ini yang didorong pemerintah, melibatkan secara aktif tenaga kesmas dilapangan.

Berdasarkan Maklumat Seruan PERSAKMI (Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat) Nomor : 32/MLM/PP-PERSAKMI/C/III/2020 Tentang Seruan Kepada #SKMbersatu Sebagai Frontliner Public Health Prevention Pandemi Covid-19 menjelaskan bahwa domain aktifitas pada level promotif adalah menjaga pola hidup sehat, menu konsumsi pangan/makanan yang sehat, seimbang berdasarkan kebutuhan, olah raga teratur, istirahat yang cukup, mengelola stress, bebas dari perilaku berisiko, tidak merokok, tidak minum alkohol serta hidup di lingkungan yang sehat.

Untuk menyampaikan pentingnya nilai-nilai positif kesehatan tersebut kepada seluruh masyarakat membutuhkan keahlian khusus. Butuh kompetensi khusus dan tidak tidak bisa hanya menjadi pekerjaan sampingan.

Disinilah peran strategis kaum scholar yang pernah di didik di program studi Kesehatan Masyarakat untuk mengambil peran strategis. Para Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) adalah frontliner gerakan ini.

SKM adalah frontliner Public Health Prevention. Kaum Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) memiliki kompetensi untuk menentukan potensi outbreak suatu wilayah, bagaimana mengontrolnya, dari fase preparedness hingga mitigasinya.

Kaum Profesional Kesehatan Masyarakat (Public Health Expert) memiliki kompetensi yang dinamis bergerak pada level komunitas dengan indikator populasi yang jelas. Kunci aktifitasnya pada kemampuan penggerakan komunitas.

Adapun posisi paramedis (dokter), perawat dan tenaga kesehatan lainnya yang di RS seharusnya ditempatkan pada benteng pertahanan terakhir, bukan di depan sebagai garda terdepan sebab itu akan membebani tugas mereka dalam upaya kuratif (pengobatan).

Apa jadinya jika mereka dibebani lagi tugas preventif, teman-teman paramedis akan kehabisan energi cukuplah mereka berjuang dan fokus pada korban yang berjatuhan selama perang melawan Covid 19 ini. Masing-masing memiliki tupoksinya sendiri, tapi tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, butuh sinergi saling bekerjasama.

Ada yang berada di lapangan bertugas menjalankan fungsi promotif dan preventif, melakukan surveilans dan pelacakan kasus demi menekan laju penyebaran Covid 19 yang cepat ini dengan melakukan percepatan edukasi dilapisan masyarakat.

Bagaimana peran tenaga kesehatan masyarakat sebagai frontliner public health prevention bisa terjamin dalam proses pelaksanaannya tentu membutuhkan amunisi layaknya paramedis menjalankan fungsi kuratif mereka.

Jadi hal yang sangat keliru ketika menarik posisi tenaga paramedis ke garda terdepan sementara peran tenaga kesehatan masyarakat dalam upaya promotive preventif tidak dioptimalkan malah disimpan dibelakang paramedis.

Dari sejak awal covid 19 ini merebak di Indonesia, pemerintah sudah salah strategi, bahkan jauh sebelum covid 19 ini ada, kebijakan bidang kesehatan memang sudah berat sebelah, lebih mengarah ke kuratif, sehingga hal ini akhirnya menjadi boomerang paramedis di RS yang menangani Covid 19 menjadi kewalahan dengan banyaknya korban berjatuhan.

Dimana jumlah paramedis dan kapasitas RS saat ini tidak memadai sementara kurva kasus positif covid 19 ini terus naik. Hasil skenario modeling COVID-19 Indonesia yang dilakukan oleh para ahli biostatistik FKM UI memprediksi sekitar 2.5 juta jiwa yang akan terinfeksi dari 172 juta penduduk Indonesia dan pucaknya diperkirakan pada bulan April – mei 2020. Situasi COVID-19 di Indonesia Indonesia berada pada ranking ke-5 kasus dengan case fatality rate (CFR) tertinggi ke-5 di dunia, dengan CFR 8-10 persen.

Pemerintah bukannya fokus mengatur strategi pencegahan untuk menekan jumlah penularan dengan menempatkan frontliners yang sesungguhnya malah mengeluarkan dana yang besar menyulap Wisma Atlet menjadi RS Rujukan Khusus Covid 19 dengan ribuan daya tampung, seolah-olah menunggu jatuhnya ribuan korban, tidak sejalan dengan upaya preventif yang diambil hanya sekedar himbauan jaga jarak, belajar, bekerja dan ibadah dirumah saja tanpa aturan yang jelas dan tegas, tanpa pertimbangan ahli epoidemiolog yang sangat memahami pola penyebaran penyakit, tanpa koordinasi dan kerja sama yang jelas dengan seluruh elemen masyarakat (seperti TNI, Polri, pemimpin daerah, pemuka agama, tokoh adat), tidak mengoptimalkan pran tenaga kesmas dilevel puskesmas sebagai ujung tombak promotif preventif di setiap daerah.

Seharusnya pemerintah segara mengambil langkah kongkrit dalam menekan laju dan persebaran penularan Covid-19 agar tidak meluas ke daerah-daerah dengan menghentikan pergerakan populasi dengan karantina wilayah terbatas khusus untuk zona merah yang merupakan episentrum penularan paling kurang dua kali masa ingkubasi dengan disiplin tinggi dengan melibatkan semua elemen masyarakat termasuk mempertimbangkan rekomendasi para ahli kesmas, mengurangi populasi berisiko dengan praktek ketat gaya hidup sehat yang lebih massif yang dikawal oleh tenaga kesmas dengan mempersenjatai para petugas promotif dan preventif dengan APD standar untuk diterjunkan keruang-ruang publik melakukan edukasi aktif dengan pendekatan lokal dan bahasa penyuluhan yang lebih bisa dipahami masyarakat awam, upaya pelacakan populasi berisiko yang lebih massif dengan melibatkan tenaga epidemiologi untuk diisolasi, jika pemerintah fokus pada hal ini dan dibarengi dengan aturan dan arahan yang jelas beserta kebijakan atas implikasinya seperti subsidi bagi warga yang kehilangan pendapatan harian kerena tidak bisa bekerja, maka sangat memungkinkan meningkatnya tingkat kepatuhan warga sebab berdasarkan penelitian jika gerakan social ini dilakukan dengan tingkat kepatuhan tinggi (> 70 %) maka karantina di rumah saja akan lebih efektif dalam memperlambat penyebaran penyakit tanpa perlu mengeluarkan banyak dana membangun RS dadakan. Pemerintah perlu segera mengevaluasi strateginya agar kebijakan yang diambil lebih seimbang mendukung upaya kesehatan masyarkat (preventif) dan upaya kesehatan personal (kuratif).

Tidak berat sebelah. Karena ketidak-seimbangan kebijakan yang diambil pemerintah ini akan mengorbankan para tenaga medis di ruang-ruang isolasi juga tenaga surveilans lapangan.

Akan memperparah komposisi tenaga kesehatan yang ada saat ini sebab jumlah tidak sebanding dengan rasio jumlah kasus yang terus meningkat sementara tenaga kesehatan stagnan tidak bertambah bahkan berkurang karena pada saat yang sama juga menjadi korban.

Suatu hal yang sangat menyedihkan ketika tenaga kesehatan masyarakat seperti epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga, tenaga kesehatan lingkungan seperti tenaga sanitasi lingkungan, entomolog kesehatan, dan mikrobiolog kesehatan belum cukup diberi ruang, kurang diapresiasi bahkan tidak familiar sehingga kesannya antara ada dan tiada. Keberadannya dalam struktur layanan kesehatan adalah hal yang sangat penting karena merupakan ujung tombak yang bergerak pada level akar rumput mengudakasi seluruh lapisan masyarakat namun bergerak senyap dan tak jarang dipertanyakan keberadaannya ditengah masyarakat tugasnya apa? Secara konsep penataan struktur tenaga keseahatan sudah sangat jelas dalam perundang-undangan namun sepertinya ada yang salah dalam aplikasinya dilapangan.

Bahkan sudah terlanjur dalam persepsi masyarakat bahwa urusan kesehatan, termasuk urusan Covid 19 ini, harus serahkan ke Dokter, dan sebagian besar kebijakan pemerintahpun sepertinya menguatkan persepsi masyarakat ini dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan yang mengarah pada usaha KURATIF yang mengesampingkan PREVENTIF begitu pula dalam pengambilan kebijakan pencegahan dan penanganan Covid 19 ini, para ahli dibidang kesehatan masyarakat ini yang nota bene sebagai ahli preventif seperti diabaikan dalam proses pengambilan kebijakan, arahan kebijakan untuk preventifpun semakin tidak jelas, roh preventif UKM sepertinya ditinggalkan bahkan terkesan dipolitisasi meski sudah sangat jelas aturan perundang-undangan telah mengatur tentang karantina wilayah akibat bencana kesehatan seperti Covid 19 ini yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Tak sedikit ahli kesehatan masyarakat menyerukan pemberlakuan UU Kekarantinaan Kesehatan ini, namun pemerintah masih memilih opsi lain.

Mohon wahai Mr. president jalankan fungsi dan kapasitasmu sebagai panglima perang yang mengatur strategi, tempatkan prajuritmu pada posisi yang “pas” agar berfungsi optimal jangan sampai malah melemahkan prajurit sendiri.

Contoh riilnya adalah Italia, kebijakan Lockdown diambil setelah wabah covid 19 ini telah menyebar ke seluruh penjuru hingga akhirnya hampir semua warganya sakit dalam waktu yang hampir bersamaan, akibatnya kapasitas RS overload, paramedis kewalahan. Jangan sampai Indonesia menjadi Italia di Asia Tenggara.

Tumbangnya para tenaga medis ditengah minimnya APD dalam penaganan kasus yang tersorot kamera saja masih tak menggugah nurani pemerintah.

Apatah lagi teman-teman tenaga kesehatan yang bertugas turun kelapangan dalam senyap tanpa sorot kamera melakukan surveilans penemuan kasus dan tarcing yang tidak dilengkapi dengan APD Standar padahal mereka juga berisiko tinggi karena mereka akan bertemu dengan para ODP dan PDP yang kemungkinan positif.

Profil Penulis
Nama Lengkap: Andi Asnifatima, SKM., M. Kes, mengabdi sebagai staf pengajar (dosen) di Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ibn Khaldun Bogor juga merupakan Sekertaris Pengurus PERSAKMI (Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat) Cabang Bogor Raya Periode Tahun 2015-2020.