25 radar bogor

Jangan Anggap Remeh Kehamilan Berisiko!

dr-Jonas
Spesialis Kebidanan dan Kandungan Konsultan Fetomaternal BMC Mayapada Hospital, dr. Jonas Baringbing.
dr-Jonas
Spesialis Kebidanan dan Kandungan Konsultan Fetomaternal BMC Mayapada Hospital, dr. Jonas Baringbing.

BOGOR–RADAR BOGOR, Angka kehamilan dengan risiko tinggi (pregnancy high risk) di Indonesia meningkat pada 2018 lalu. Trennya pun diprediksi sama di tahun ini, dan 2020 mendatang.

Spesialis Kebidanan dan Kandungan Konsultan Fetomaternal BMC Mayapada Hospital, dr. Jonas Baringbing mengingatkan bahwa upaya pencegahan kehamilan risiko tinggi penting dilakukan.

“Ada ataupun tidak penyakit yang diderita. Jika memang ada, penting untuk kontrol, screening, diperiksa tekanan darah maupun asupan gizi cukup atau tidak,” tegasnya kepada Radar Bogor.

dr Jonas menjelaskan, kehamilan risiko terbagi dua yaitu rendah dan tinggi. Kehamilan berisiko tinggi adalah kondisi ibu, janin atau bahkan keduanya berisiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan selama kehamilan atau persalinan.

Semisal ibu dengan riwayat masalah kesehatan kronis seperti tekanan darah tinggi atau diabetes.

“Nah kalau resiko tinggi yang kerap kali berkaitan dengan kematian ibu, kematian anak atau cacat ibu dan cacat anak, sedangkan resiko rendah dalam kehamilan adalah kecil peluang untuk terjadinya kecacatan/kematian ibu dan anak yg berkaitan dengan kehamilannya. Dan umumnya mayoritas kehamilan merupakan risiko rendah,” jelasnya.

Dia mencontohkan, kehamilan berisiko tinggi akan lebih mudah menimpa wanita yang hamil di atas usia 35 tahun. Berbeda dengan wanita yang hamil di usia 25 tahun. Menurut dr Jonas, wanita usia 40 tahun memiliki kemungkinan mengalami pengapuran pada pembuluh darah hingga hipertensi.

”Contoh pada usia 25 tahun, umumnya pembuluh darah pada usia tersebut masih minimal pengapuran. Pun dengan yang hamil di usia 20 tahun ke bawah, otomatis belum siap, masuk kategori rentan beresiko tinggi juga,” paparnya.

Selain itu, ada banyak penyebab wanita mengalami kehamilan berisiko tinggi. Antara lain faktor dari ibu maupun janin itu sendiri, dan plasenta atau ari-ari.

“Kalau dari ibunya contohnya usia, pembuluh darah, kelainan hormon, penyakit yang diturunkan nenek moyangnya, contohnya diabetes, hipertiroid. Kalau dari janinnya, pasangan ini pernah melahirkan bayi dengan kelainan bawaan seperti anensefalus, maka kejadian berulang kehamilan berikutnya sebesar 3-4%. Meski demikian, risiko tersebut dapat ditekan dengan berbagai upaya medis,” ungkapnya.

Tapi dikatakan dr Jonas, bukan berarti wanita yang punya penyakit diabetes tidak boleh hamil. Bahkan penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) pun diperbolehkan hamil asalkan fase aktifnya terlebih dahulu diatasi.

“Jadi minimal enam bulan fase aktif itu turun dengan obatobatan lalu setelah itu hamilnya diprogram. Selama kehamilan tidak boleh putus obat, karena hamil itu sendiri akan menyebabkan SLE nya aktif. Kalau SLE dan hamil, itu larinya kemana-mana, paling tidak bayi lahir ukurannya kecil,” bebernya.

Artinya, kata dr Jonas, wanita yang SLE, mesti dipantau kehamilannya mulai dari awal hingga masa nifas. Sesudah masa nifas pun masih harus terus dipantau. Karena banyak komplikasi yang berkaitan dengan SLE.

“Gaya hidup seperti mengonsumsi alkohol dan merokok berpengaruh juga pada kehamilan. Rokok itu berkaitan dengan pertumbuhan janin menjadi terhambat, lalu plasentanya enggak bagus, diameter plasentanya kecil.” bebernya.

Lebih lanjut dr Jonas memaparkan, melalui pemeriksaan fetomaternal, risiko pada kehamilan bisa terdeteksi sejak usia kandungan 20 minggu.

Kemudian berlanjut dengan penanganan konseling kepada pasien dan pasangan. Jika memang janin memiliki peluang hidup baik, kehamilan boleh diteruskan. “Kalau misalkan contoh janin tempurung kepalanya enggak ada, itu boleh langsung disampaikan.

Peluang hidup 0 persen, karena asam folat kurang, boleh dikeluarkan karena sudah konsensus misalkan sembilan bulan lahir, tetap enggak akan ada tempurungnya,” jelasnya.

Karena itu, kata dr Jonas penting bagi wanita hamil mendapat asupan asam folat yang memadai. “Terpenting satu bulan menjelang kehamilan dan selama kehamilan hingga 14 minggu. Untuk asupan standarnya, trimester pertama 0-14 minggu wajib asam folat dan vitamin D, berkaitan dengan hipertensi dalam kehamilan. Kalsium, pembentukan janin dan persiapan ibu untuk pabrik asinya,” kata dia.

Lalu di usia kehamilan 15-28 minggu, sambung dr Jonas, relatif sama saja. Namun tetap diperhatikan jika HB rendah maka harus mendapat asupan zat besi. Pun dengan trimester terakhir.

“Jangan lupa, masyarakat kita banyak mitosnya. Sesudah memasuki trimester tiga, tidak boleh makan ikan, daging, padahal kebutuhan proteinnya banyak di situ,” tegasnya.

Meski begitu, dr Jonas menguraikan, kasus kehamilan berisiko tinggi cenderung stagnan. Hal ini menandakan para wanita hamil lebih peduli dengan kehamilannya. Mereka juga rutin memeriksa kehamilan dan menjaga asupan gizi.

“Wanita sekarang banyak bekerja di luar. Otomatis kalau wanita hamil kan enggak boleh stres, kalau stres zat epinefrin keluar dan akan masuk ke janin. Akibatnya pertumbuhan janinnya terhambat. Jadi, selain lelah fi sik juga lelah psikis. Artinya, jangan sampai wanita hamil bekerja penuh tekanan atau stres,” paparnya.(wil)