25 radar bogor

APBD Kerap Difisit, Pemkot Bogor Dinilai Belum Waktunya Beli Obligasi

Pemkot Obligasi
Pejabat lingkup Pemkot Bogor hadir dalam Rapat Koordinasi (Rakor) bersama tim dari pemerintah pusat di ruang rapat Halmahera, Gedung Radius Prawiro, Lt 12, Komplek Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI, Senin (04/11/2019) siang.
Pemkot Obligasi
Rakor bersama tim dari pemerintah pusat di ruang rapat Halmahera, Gedung Radius Prawiro, Lt 12, Komplek Kemenkeu RI, Senin (04/11/2019) siang.

BOGOR-RADAR BOGOR, Obligasi daerah yang sedang dimatangkan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor dianggap sejumlah pihak belum waktu yang tepat.

Sebab, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bogor kerap kali mengalami defisit setiap tahunnya. Ditambah dana perimbangan dari Pemerintah Pusat yang menurun. Hal itu diungkapkan Pengamat Ekonomi Syaifudin Zuhdi.

Menurutnya, obligasi belum tepat karena sumber-sumber APBD Pemkot belum maksimal.

“Kalau selama ini kelebihan APBD, ya, silahkan. Tapi kalau memang masih defisit ngapain, walaupun ada kesempatan dari Pemerintah Pusat kan yang tahu kita, internal disini di Bogor yang mempunyai kemampuan seberapa jauh kita bisa membeli obligasi itu,” ujarnya kepada Radar Bogor, Senin (2/12/2019).

Syaifudin melihat potensi APBD Kota Bogor yang belum maksimal ada di banyak sektor. Seperti pada retribusi parkir, pajak hotel dan restoran serta lainnya. Namun sektor tersebut yang kerap kali terjadi kebocoran.

Karenanya, dia menyarankan agar Pemkot melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) untuk memaksimalkan penggalian potensi melalui terobosan-terobosan. Salah satunya pengawasan atau kerjasama dengan aplikasi-aplikasi gadget penyedia jasa layanan sektor tersebut.

“Pengawasan dari Pemkot sendiri memang masih lemah untuk mengoptimalkan, itu harus ditingkatkan, lalu kerjasama dengan pihak ketiga yakni pemilik aplikasi penyedia layanan sewa hotel atau pembelian makanan sehingga Bapenda tidak bisa lagi dibohongi, kalau itu dilakukan maka potensi pajak akan maksimal, daripada beli obligasi karena belum waktunya,” jelas dia.

Disisi lain, waktu obligasi yang cukup panjang membuat Syaifudin khawatir. Sebab bisa menimbulkan konflik ke depan, terutama saat pergantian kepemimpinan kepala daerah.

“Kalau ini pertama kali maka ada Perda, ada aturan, kalau tidak akan menjadi ajang konflik, ini harus dikaji dulu,” jelasnya.

Sementara itu, Anggota DPRD Kota Bogor Saeful Bakhri mengungkapkan, kajian akademis yang kuat dengan data-data empirik yang lengkap sangat dibutuhkan sebagai dasar kebijakan Pemkot Bogor untuk mengambil kesempatan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai pilot project di Indonesia tingkat daerah.

Kajian itu juga dibutuhkan untuk dirumuskan dalam analisa-analisa konkret karena kristalisasi dari proses penyelenggaraan pemerintahan yang panjang.

“Rancangan kebijakan ini sebetulnya masih sangat pagi pembahasannya dengan DPRD,” jelasnya.

Namun, lanjut Saeful, justru saat ini Pemkot Bogor telah mengambil langkah kongkrit melalui kegiatan tahun 2020 di RSUD Kota Bogor, yaitu kegiatan Kajian Pembiayaan Pembangunan Rumah Sakit yang telah tertuang di dalam APBD tahun 2020.

Karena itu, DPRD akan meminta penjelasan kepada instansi terkait apakah anggaran FS untuk kajian sumber pembiayaan pembangunan infrastuktur atau gedung RSUD yang akan datang dengan kemungkinan sumber pembiayaan pinjaman.

Sementara regulasi yang mengatur sedang dalam tahap pembahasan dengan DPRD yang masih sangat awal.

“Ketika kesepakatan tentang kebijakan ini belum ada titik temu antara Pemkot Bogor dengan DPRD, sebaiknya tidak dilakukan kajian-kajian untuk aplikasi teknisnya di OPD, karena kan masih terkendala regulasi daerah yang sedang dibahas. Jangan ada kesan, bahwa Pemkot sudah melakukan langkah pendahuluan untuk pelaksanaan riil kebijakan ini,” pungkasnya. (gal/pkl6/c)