25 radar bogor

Pemerintah Siapkan Tiga Alternatif Sistem Pilkada, Ini Plus Minusnya

Sistem Pilkada
Ilustrasi Pilkada
Sistem Pilkada
Ilustrasi Pilkada

JAKARTA – RADAR BOGOR, Belum tuntas wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) tak langsung atau lewat DPRD, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian kembali menawarkan opsi lain atas evaluasi pilkada langsung. Opsi itu adalah pilkada asimetris.

Tito mengatakan jika Pilkada asimetris diterapkan maka ada dua sistem pemilihan kepala daerah yang akan dipakai. Sistem secara langsung akan digunakan untuk daerah dengan tingkat kedewasaan demokrasi tinggi. Atau daerah potensi praktik jual beli suara rendah. “Misal di perkotaan,” ujarnya.

Sementara, pemilihan tak langsung, menurut Tito bisa diterapkan di daerah yang tingkat kedewasaan demokrasi rendah. Misalnya, daerah di mana kepala daerah terpilih karena memberikan uang atau barang kepada pemilih.

Hal ini demi menghindari money politics, atau pilkada berbiaya besar. “Sehingga alternatifnya asimetris mungkin yaitu di daerah yang indeks democratic maturity tinggi,” beber dia.

Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Bahtiar menambahkan Pilkada asimetris yang dimaksud Tito adalah sistem yang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pilkada antar daerah.

Perbedaan tersebut bisa muncul dikarenakan suatu daerah memiliki karakteristik tertentu seperti kekhususan dalam aspek administrasi, budaya ataupun aspek strategis lainnya.

Misalnya, seperti di DKI Jakarta yang wali kota dan bupati tidak dipilih melalui Pilkada. Hal tersebut dikarenakan status daerah tingkat II di DKI Jakarta bukanlah berstatus daerah otonom tetapi sebagai daerah pembantu.

Kondisi ini membuat posisi wali kota dan bupati ditentukan oleh gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

“Kami di Kemendagri terutama Pak Menteri betul-betul mengingat pilkada ini dilakukan by riset. Sejauh mana keefektifannya selama ini, tentu risetnya dilakukan dengan metodologi yang empiris dan melibatkan peneliti-peneliti yang berintegritas,” kata dia.

Sementara Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik menjelaskan pilkada langsung dengan metode asimetris tidak akan menyamakan kebutuhan masing-masing daerah dalam memilih kepala daerah.

Menurutnya, pilkada tersebut berbeda antara daerah kepulauan dengan daratan serta daerah dengan kota.

“Bagaimana konsepnya, tunggu saja sedang kami siapkan tidak untuk 2020, tapi sepertinya 2024, karena tahapan sudah mulai,” tukasnya.

Disisi lain opsi pilkada Asimetris didukung oleh Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.

Ia menyatakan, partainya mendukung penuh usul Tito untuk memberlakukan Pilkada secara asimetris sebagai bagian dari hasil evaluasi sistem pemilihan langsung.

“Daerah-daerah yang potensi konfliknya besar, maka di daerah tersebut dengan hikmat kebijaksanaan, kita galakkan pemilu asimetris,” ujar Hasto

Senada dengan Tito Karnavian, Hasto menilai Pilkada langsung saat ini memiliki potensi konflik akibat polarisasi masyarakat dan juga memakan ongkos politik yang tinggi.

Sehingga, ujar dia, kerap kali Pilkada Langsung menghadirkan bohir-bohir tertentu untuk membiayai pertarungan antarcalon.

Dampaknya, ketika pemenang pilkada menjabat, eksploitasi sumber daya alam daerah terjadi demi membayar kembali biaya pilkada dimaksud.

“Karena kepentingan investor politik, sehingga di daerah dilakukan berbagai eksploitasi alam luar biasa. Mengeruk kekayaan alam kita luar biasa karena Pilkada dengan biaya politik mahal,” ujar Hasto.

Perihal wacana itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mendefinisikan pilkada asimetris sebagai sistem pemilihan yang tidak seragam.

“Ada perbedaan antara daerah-daerah terkait mekanisme pemilihan yang akan diberlakukan,” jelas Titi.

Titi menambahkan ada tiga daerah yang sejatinya sudah lama memberlakukan sistem asimetris. Antara lain Aceh, DKI Jakarta, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Aceh misalnya, diberlakukan partai lokal di mana calon bisa diusung dari partai politik lokal.

Sementara DKI Jakarta berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2007, di Jakarta level kabupaten/kota tak ada pemilihan bupati dan wali kota. “Karena mereka daerah administratif,” ucap Titi.

Sementara di Yogyakarta, tak ada pemilihan gubernur seperti di DKI Jakarta. “Adanya pilkada kabupaten/kota pada level tingkat duanya,” kata Titi. Tiga daerah ini, tambah Titi, punya asal muasal, kekhususan secara historis diakui sebagai daerah yang khas. (ind/jpg)