25 radar bogor

Disebut Kampung Putus Sekolah, Warga Mulyasari Hanya Memiliki Ijazah SD

Kampung-Mulyaharja
Suasana kegiatan belajar mengajar salah satu SD di Kampung Mulyaharja.
Kampung-Mulyaharja
Suasana kegiatan belajar mengajar salah satu SD di Kampung Mulyasari.

SUKAMAKMUR-RADAR BOGOR, Kondisi Kampung Mulyasari, di Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor serba terbatas.

Parahnya, kampung ini disebut sebagai Kampung Putus Sekolah, karena penduduknya hanya memiliki ijazah SD. Meski jaraknya hanya sekitar 60 kilometer, hampir 300 warga di desa ini tidak mengenyam pendidikan.

Ketua RT5/1 Rahmat (25) mengaku, dari jumlah tersebut hanya ada dua warganya yang melanjutkan pendidikan di luar kampung. “Ya ada dua warga saja paling yang lanjut sekolah di luar. Dan bekerja di luar kampung juga,” jelas Rahmat.

Menurut Rahmat, warganya memilih untuk melanjutkan pendidikan di pondok pesantren yang berada di atas bukit. Warga lebih memilih di sana lantaran jarak untuk bersekolah di kota sangatlah jauh. “Jadi lebih memilih modok di atas. Saya juga cuma SD,” kata Rahmat.

Kendati jarak dari pusat kota tidak terlalu jauh, jalan menuju kampung itu berbatu dan terjal. Setelah melewati jalan berbukit, untuk bisa masuk ke kampung tersebut juga harus melewati hutan dan jalan setapak yang berliku dan curam.

Umumnya orang harus menggunakan motor trail, meski sepeda motor biasa juga bisa melewati jalan yang didominasi oleh tanah dan batu.

Akses yang sulit untuk keluar masuk kampung ini menjadi alasan para orang tua tak menyekolahkan anaknya ke sekolah reguler. “Ada sih sekitaran sini sekolah, cuma jaraknya jauh jauh dan aksesnya sulit,” katanya.

Meski begitu, dia masih lega penduduknya tetap bisa membaca, menulis dan berhitung. Hal itu karena mereka membuat sendiri madrasah yang digunakan untuk belajar agama.

“Di madrasah itu selain mereka belajar agama, juga belajar pelajaran SD sebisanya,” kata Rahmat.

Guru-guru madrasah pun merupakan warga sekitar yang paham agama. “Mereka belajar di bangunan yang kami buat seadanya dibantu dengan sumbangan pihak luar seperti mahasiswa atau yayasan,” ulas dia.

Di bangunan yang memiliki luas kurang lebih 4×12 meter tersebut, proses belajar mengajar terjadi. Namun tidak ada bukti seperti ijazah yang menandakan seseorang mengenyam bangku pendidikan. “Mereka sih belajar kemauannya tinggi, tapi nggak ada ijazah, karena belajarnya hanya seadanya,” lanjut dia.

Salah seorang warga, Inah (60) mengaku tak pernah merasakan pendidikan baik itu SD, SMP apalagi SMA. Inah lebih memilih berdiam diri di rumah dan mengurus cucu-cucunya yang ditinggal anaknya yang pergi berkebun. Untuk kebutuhan sehari-hari, Inah menyebut, hanya beras yang mesti ia beli di ke Pasar Sukamakmur.

“Karena habis musim kering jadi tidak ada padi. Lauk pauknya, banyak lalapan atau mie instan seperti ini,” kata Inah saat menemani cucunya yang sedang makan.

Ia juga menuturkan, anak dan cucunya hanya bersekolah di kelas jauh SDN 02 Mulyasari. Namun, hanya ada satu ruang kelas yang digunakan untuk 60 siswa dari kelas satu sampai kelas tiga, dengan dua orang pengajar.

Menurut Hasan, salah satu guru SDN 02 Mulyasari, setiap harinya siswa-siswi itu harus saling bertukar seragam merah putih setiap kali hendak sekolah. Masalahnya, belum semua murid memiliki seragam.

Belum lagi, teknis belajar mengajarnya pun harus dirolling. Saat siswa kelas satu sedang belajar, siswa kelas lainnya bergeser ke sisi pojok ruang kelas. “Ya begitu seterusnya. Jadi bukan bergantian pemakaian kelas dan waktu,” ungkap Hasan.

Hasan menilai, kegiatan belajar dan mengajar tersebut memang tidak efektif. Pasalnya, lanjut dia, pada saat pembelajaran berlangsung, seluruh siswa dari tiga tingkat dasar ini harus bergantian. Belum lagi, kata dia, kebisingan yang terjadi saat belajar mengajar berlangsung.

“Harapannya sesegera mungkin pemerintah menanggapi hal ini. Pendidikan itukan penting sekali. Setidaknya ada perbaikan jalan atau kelas tambahan untuk warga di sini,” tandas Hasan. (rp1/c)