25 radar bogor

Menakar Perlindungan Hak Disabilitas di Ruang Publik

Syifa-Fauziah

Syifa-Fauziah

Oleh: Syifa Fauziah, Mahasiswa S2 Hukum Universitas Pakuan, Pemikir dan Aktivitis Demokrasi

“We have always held to the hope, the belief, the conviction that there is a better life, a better world, beyond the horizon” (Franklin D Roosevelt-32th President of USA)

DEMOKRASI adalah ruang, paradigma, konsep soal kebebasan yang berakar dari daulat rakyat. Abraham Lincoln, pada Pidato Gettysburg (Gettysburg-Pennsylvania 19 November 1863) yang sangat fenomenal mengatakan, demokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Dengan begitu, jantung yang berdenyut di sistem demokrasi adalah apa yang dikehendaki rakyat. Bila ada warga masyarakat yang terdiskriminasi, misalnya. Maka, itu sudah dapat dipastikan bertentangan dengan demokrasi.

Faktanya, bukan hal mudah mengelola demokrasi. Sebab, demokrasi menyangkut bagaimana menyikapi kemajemukan, perbedaan dan kondisi satu sama lain yang berbeda. Seperti, ada warga yang berstatus sosial berkekayaan lebih. Ada pula yang tidak.

Demikian, tidak sedikit, sebagian warga yang menyandang disabilitas. Semua adalah warga setara. Wajib diperlakukan setara pula oleh negara. Sebab, karena itulah negara ada.
Nasib Penyandang Disabilitas Penyandang disabilitas bukan monster.

Bukan sosok yang ingin dibelaskasihi. Penyandang disabilitas warga biasa yang memiliki keterbatasan. Secara semantik, disabilitas (disability) dimaknai sebagai suatu ketidakmampuan/keterbatasan untuk melakukan sesuatu karena keterbatasan diri yang dimiliki. Di sisi lain, ada pula yang menggunakan istilah difabel untuk menyebut disabilitas.

Difabel adalah singkatan dari different ability dimaknai sebagai suatu kemampuan yang berbeda yang dimiliki seseorang. Dalam konteks disabilitas, kita akan memandang bahwa disabilitas adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dan menjadi beban.

Sementara pada konteks difabilitas, kita akan memandang bahwa dibalik kekurangan yang dimiliki seseorang terdapat kemampuan lain yang dimiliki. Jadi, sesungguhnya lebih pas bila penyandang disabilitas disebut difabel. Sayangnya, pilihan penormaan hukum kita adalah disabilitas (seperti diatur pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas).

Terlepas dari peristilahan, tidak dapat disangkal, penyandang disabilitas masih menjadi warga kelas dua. Masih banyak fasilitas, sarana dan prasarana belum mengakomodir kemudahan aksesibilitas disabilitas melakukan aktivitasnya sehari-hari. Demikian pula pelayanan publik untuk disabilitas masih terbatas.

Ditambah, minimnya pemahaman masyarakat terkait disabilitas dengan memandang sebelah mata, belas kasihan bahkan kerap mendapat perlakuan diskriminasi.

Publik tentu masih ingat kasus-kasus diskriminasi seperti kasus dokter gigi Romi Syofpa Ismael yang dicoret oleh Pemkab Solok Selatan menjadi PNS dengan alasan disabilitas padahal telah mendapatkan nilai terbaik dan rangking pertama.

Belum lagi kasus Wuri Handayani lulusan Universitas Airlangga pengguna kursi roda yang ditolak saat memasukan berkas melamar CPNS di Kota Surabaya karena panitia beralasan tidak memenuhi syarat sehat jasmani dan rohani. Lalu apakah keterbatasan fisik berarti tidak sehat jasmani-rohani?

Berbagai hal yang masih memprihatinkan di atas tentu bukan untuk ditangisi. Apalagi dimaklumi. Namun harus diubah. Penyandang disabilitas memiliki hak setara di ruang publik. Dijamin secara hukum. Baik internasional maupun nasional.

Sejak tahun 1997, Indonesia telah peka terhadap pelindungan disabilitas secara legal. Ini nampak dari terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Demikian pula pada tahun 2011, Indonesia telah meratifikasi Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Right of Persons with Disabilities). Selain itu terbit pula Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 tentang Pedoman Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

Demikian pula diikuti berbagai daerah, terbit beragam peraturan daerah (perda) tentang disabilitas. Sayangnya Kota Bogor belum memiliki perda dimaksud (meski secara rancangan telah ada pada program pembentukan perda yang seharusnya telah selesai di tahun 2019). Keberpihakan terhadap penyandang disabilitas menjadi penting apalagi kita memiliki ideologi Pancasila.

Ideologi Pancasila sebagai staatfundamental norm dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) sebagai Staatsgrundgesetz menjadi acuan dasar dalam pelaksanaan hukum di Indonesia di mana di dalam Pancasla terdapat sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, sebagai bunyi dari sila ke-3 dan ke-5 Pancasila yang diikuti pengakuan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 28A-J dalam Amandemen ke-4 UUD NRI 1945, serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sehingga pelindungan dan pemberdayaan penyandang disabilitas adalah niscaya.

Karena semua adalah bagian dari warga masyarakat yang setara dimuliakan negara untuk mencapai kemakmuran lahir batin sesuai amanat Pembukaan UUD 1945.

Masa Depan Banyak orang hebat adalah penyandang disabilitas. Ambil misal seperti Stephen Hawking, pakar fisika jenius merupakan penyandang disabilitas.

Fisikawan Sir Isaac Newton pun khabarnya disabel karena menganut autis namun dikenal dengan hukum Newtonnya di dunia fisika mendunia. Jadi, bila diberikan ruang yang leluasa, penyandang disabilitas berhak menampilkan kemampuannya bahkan banyak yang berhasil.

Tinggal bagaimana membangun atmosfir itu. Pertama, edukasi publik dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi harus ditanamkan untuk memandang disabilitas secara setara.

Perlu diubah kebiasaan yang dikenal dengan “staring at you from the top till bottom” (menatap orang lain dari atas sampai bawah) terhadap penyandang disabilitas. Sebab itu membuat tidak nyaman, diskriminatif dan sangat tidak etis.

Pembauran di dunia pendidikan antara penyandang disabilitas dan bukan menjadi penting untuk percepatannya. Kedua, membangun paradigma kebijakan, sarana prasarana dan akses pekerjaan yang ramah disabilitas. Perda disabilitas harus terbit di semua daerah.

Infrastruktur di ruang publik wajib aman bagi penyandang disabilitas. Aturan alokasi pekerjaan bagi disabilitas yang diatur di UU Disabilitas harus ditegakan. Dengan demikian, terdapat keadilan bagi semua.

Ketiga, dibuat gerakan dari semua pihak untuk berpihak pada penyandang disabilitas. Anti diskriminasi. Saling menghargai sesama. Dengan begitu, kekurangan setiap orang bukan untuk dicela. Namun kesempatan berlomba berkontribusi terbaik bagi masyarakat, bangsa dan negara. Semoga. (*)