25 radar bogor

Ditemukan Desa-desa ’Hantu’ di Sulawesi Tenggara, Jokowi : Kita Kejar

Desa hantu
Salah satu suasana desa yang diduga fiktif di Konawe, Sulawesi Tenggara.
Desa hantu
Salah satu suasana desa yang diduga fiktif di Konawe, Sulawesi Tenggara.

JAKARTA – RADAR BOGOR, Kemendagri menemukan keberadaan desa-desa ‘hantu’ alias fiktif. Desa-desa tersebut berada di Kabupaten Konawe, Sulawesi tenggara.

Kemendagri menyatakan desa-desa itu sudah ada sejak lama. Hanya saja, diduga prosedur penetapan wiilayahnya sebagai desa yang keliru. Karena itulah desa-desa tersebut kini diinvestigasi lebih lanjut.

Hal itu disampaikan Dirjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri Nata Irawan saat ditemui di kompleks parlemen Rabu (6/11/2019).

Dia membenarkan bahwa laporan awal yang disampaikan KPK berjumlah 56 desa diduga fiktif. Namun, ketika dicek langsung di lapangan, yang diyakini fiktif ada empat desa.

Menurut dia, yang dimaksud fiktif adalah kesalahan administrasi dalam penetapannya sebagai desa.

’’Ada perda yang sebenarnya tidak menetapkan untuk desa-desa tersebut. Disinyalir di perda tersebut ada kekeliruan,’’ terangnya.

Sangat mungkin, desa-desa tersebut kala itu tidak seharusnya ditetapkan oleh perda, namun ternyata masuk.

Karena itu, pihaknya akan menginvestigasi lebih lanjut bersama pemda Polda Sulawesi Tenggara.

’’Kalau memang benar-benar secara data dan administrasi itu jelas kekeliruan, kami cabut keberadaan desa tersebut,’’ lanjut Nata.

Dia juga memastikan bahwa sejak 2017, keempat desa itu sudah tidak lagi menerima dana desa. Dananya ditahan di Kabupaten/Kota.

Nata menjelaskan mengapa desa-desa tersebut bisa lolos menjadi wilayah administratif. Pertama, perda yang menaungi pembentukan keempat desa itu terbit pada 2011. Jauh sebelum terbitnya UU nomor 6 Tahun 2014 tentang desa.

Saat desa-desa itu didaftarkan ke Kemendagri, langsung disetujui karena ada dasar hukum berupa perda.

Dalam perjalanannya, lanjut Nata, kemungkinan tidak ada pelayanan yang dilakukan di desa-desa itu sehingga memunculkan pengaduan dari masyarakat. Bisa jadi salah satunya karena jumlah penduduknya sedikit.

’’Ada satu desa yang ternyata jumlah penduduknya hanya tujuh kepala keluarga,’’ ungkapnya.

Sebelum terbitnya UU Desa, kondisi itu dimungkinkan karena jumlah penduduk tidak menjadi kriteria pembentukan desa.

Karena itu, Nata berharap publik tidak buru-buru menyimpulkan bahwa sebuah wilayah adalah desa fiktif.

Karena secara de facto wilayahnya ada. Yang menjadi persoalan adalah, apakah secara hukum pembentukan desa tersebut sudah benar.

Sebelum UU desa terbit, jumlah desa mencapai 69 ribuan. Saat ini, jumlahnya mencapai sekitar 74 ribu. Ada sekitar 5.000 desa baru yang pembentukannya disetujui Kemendagri berdasarkan aturan di UU Desa.

Nata berjanji segera mengumumkan bila Kemendagri sudah menyimpulkan keempat desa itu fiktif atau tidak.

Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa Aferi S Fudail menjelaskan, dugaan sementara aparat hukum adalah kesalahan administratif.

’’Administrasi yang dijadikan acuan untuk mendapatkan kode (desa) dai Jakarta, perdanya dikatakan palsu,’’ terangnya. Sebab, nomor perda yang diterbitkan itu seharusnya bukan untuk menetapkan empat wilayah menjadi desa.

Sementara itu, isu terkait adanya desa fiktif dalam penyaluran dana desa sampai ke telinga Presiden Joko Widodo. Terkait kasus tersebut, presiden memastikan untuk menindak.

“Kita kejar agar yang namanya desa-desa itu tadi diperkirakan, diduga itu fiktif ketemu, ketangkep,” ujarnya di Jakarta Internasional Expo Kemayoran, Jakarta, Rabu (6/11/2019).

Terkait pengelolaan dana desa yang jadi sorotan, Jokowi mengakui mengelolanya bukan perkara mudah. Pasalnya, Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah yang besar.

Saat ini saja, jumlah desa di seluruh tanah air mencapai 74 ribu lebih. “Manajemen mengelola desa sebanyak itu tidak mudah,” imbuhnya.

Dengan karakteristik sebesar itu, Jokowi mengakui potensi manipulasi keberadaan desa sangat mungkin dilakukan. Modusnya pun bisa beragam.

“Misalnya dipakai plangnya saja, tapi desanya nggak (ada) bisa saja terjadi karena dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote sebuah pengelolaan yang tidak mudah,” tuturnya. (byu/far/tyo/dee/mia)