25 radar bogor

Anggaran Pokok Pikiran Bakal Dipangkas, Anggota Dewan Kota Bogor Geram

paripurna
DPRD Kota Bogor mengadakan rapat paripurna membahas raperda Kota Bogor di Gedung DPRD Kota Bogor di Jalan Pemuda Bogor, beberapa waktu lalu.. Nelvi/Radar Bogor.
paripurna
DPRD Kota Bogor mengadakan rapat paripurna membahas raperda Kota Bogor di Gedung DPRD Kota Bogor di Jalan Pemuda Bogor, beberapa waktu lalu.. Nelvi/Radar Bogor.

BOGOR-RADAR BOGOR, Rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor memangkas anggaran pokok pikiran (Pokir) DPRD Kota Bogor untuk menyeimbangkan antara pendapatan dan pengeluaran pada RAPBD 2020 mendapat tanggapan dari anggota DPRD Kota Bogor. Salah satunya Ketua Fraksi PPP DPRD, Zaenul Mutaqin.

Menurutnya, pokir merupakan aspirasi masyarakat yang disampaikan kepada dewan saat melaksanakan reses. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010 dan Undang Undang MD3.

Karenanya, sudah menjadi kewajiban DPRD untuk menampung aspirasi masyarakat dan menyampaikannya ke pemerintah dalam bentuk pokir.

“Sekarang kita berbicara bukan soal dihilangkan atau dipangkas, tapi berbicara proporsional,” ujarnya kepada Radar Bogor, kemarin (23/10).

Pokir, lanjut dia, merupakan aspirasi warga di bidang infrastruktur yang tak tersalurkan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).

Pokir sendiri tak pernah dikerjakan oleh dewan. Melainkan oleh dinas terkait. Sebab, anggota DPRD dalam hal ini hanya menggunakan hak budgeting.

“Kalau disesuaikan dengan kemampuan APBD tidak masalah. Tapi penyesuaian bukan berarti pemangkasan,” katanya.

Jika pokir sampai dihilangkan, sambungnya, maka kedepan tak perlu lagi ada reses. Namun, masyarakat tak bisa lagi mengeluhkan jika aspirasinya tak tersalurkan dalam Musrenbang. “Sebagai anggota dewan kita wajib menampungnya,” tegas dia.

Sementara itu, Anggota DPRD Fraksi PDI Perjuangan, Atty Somaddikarya menegaskan bahwa pokir tak perlu dipangkas.

Tetapi lebih baik dihilangkan. Itu pun jika tak menabrak regulasi. Namun dengan catatan bahwa tidak boleh terjadi SILPA setiap tahunnya.

“Kalau masih ada SILPA di atas Rp200 miliar sampai Rp300 miliar, artinya ada program yang tak terukur dan tak terencana dengan baik,” ungkapnya.

Disisi lain, menurut Atty, apabila aspirasi pokir yang benar-benar mendesak kemudian dipangkas tanpa menghitung dampak yang akan terjadi, otomatis hal itu harus bisa dipertanggungjawabkan. Seharusnya Pemkot berpikir keras untuk menambah potensi PAD dan mencegah kebocoran agar defisit tak selalu terjadi.

“Kalau mau uji petik secara independen saja, apabila APBD mau tepat sasaran semua pihak harus bisa bekerjasama dalam hal pengawasan karena APBD adalah uang rakyat yang semestinya harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat,” pungkasnya. (gal/pkl8/c)