25 radar bogor

Komisi III Tawarkan Kontrak Politik pada Capim KPK, Ini Reaksi Laode

JAKARTA-RADAR BOGOR, Komisi III DPR menggulirkan wacana untuk membuat kontrak politik kepada 10 calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menjalankan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper tes) di DPR. Perjanjian di atas meterai itu dimaksudkan agar nantinya lima pimpinan KPK terpilih dapat menjalankan tugas sesuai dengan isi perjanjian kontrak politik tersebut.

Alasan adannya kontrak politik itu, karena Komisi III DPR menuding bahwa pimpinan KPK kerap kali berbeda sikap sebelum dan setelah menjadi pimpinan di lembaga antirasuah.

Namun wacana tersebut ditentang keras oleh Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif. Kendati tidak akan memimpin kembali lembaga antirasuah, ia menilai adanya kontrak semacam itu hanya akan mewakili pihak-pihak tertentu. Bahkan nantinya pimpinan KPK akan bekerja tidak independen.

“Menurut saya, kami di KPK mengatakan bahwa untuk menjadi aparat penegak hukum itu tidak boleh diikat dengan komitmen politik,” kata Laode di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (10/9).

Jika hal itu benar terwujud, maka pimpinan KPK periode 2019-2023 adalah lima pimpinan yang pertama kali dalam sejarah terlibat perjanjian di atas kertas dengan Komisi III DPR. Laode menilai, jika DPR menetapkan komitmen semacam itu, maka dikhawatirkan pimpinan KPK yang baru tidak akan loyal pada penegakan hukum.

“Jangan-jangan dia (pimpinan) akan loyal kepada pemimpin politiknya, bukan dia loyal kepada penegakan hukum yang menjadi tujuan utama dari aparat penegak hukum itu bekerja,” ucap Laode.

Oleh karena itu, Laode merasa bersyukur dirinya tidak lolos dalam proses seleksi Capim KPK periode 2019-2023. Menurutnya, hal itu dapat merugikan kinerja pemberantasan korupsi.

Sebelumnya, anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengaku, kontrak politik dibuat agar para Capim KPK bisa bersikap konsisten, baik saat uji kelayakan dan kepatutan dan ketika menjabat sebagai pimpinan KPK.

“Itu menjadi semacam quote un quote kontrak politik antara calon dengan DPR kalau dia terpilih nantinya,” ujar Arsul.

Menurutnya, sikap Capim KPK disebut bisa berbeda karena saat menjabat komisioner KPK kerap kali terpengaruh dengan tekanan publik dan popularitas. Padahal, kata dia, tekanan publik mayoritas belum tentu menjadi kebenaran.

Hal itu juga berlaku pada sikap capim tentang revisi UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apakah nantinya sikap itu sesuai dengan saat menjalankan tes di DPR dan saat sudah terpilih nanti. (JPG)