25 radar bogor

Revisi UU KPK Dipaksakan, Ini Poin-poin Krusialnya

Ilustrasi

JAKARTA – RADAR BOGOR, Gerakan penolakan revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi semakin meluas.

Dari yang tadinya dalam bentuk unjuk rasa, kini merambah ke petisi daring melalui change.org hingga petisi luring yang digagas sejumlah dosen dan guru besar.

Meski banjir protes, DPR tetap mengirimkan draf RUU KPK ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kini nasib lembaga anti rasuah tersebut sepenuhnya berada di tangan presiden.

“Sekarang bolanya ada di Presiden. Enggak ada jalan lain kecuali Presiden menolak usulan itu,” ujar Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK, Rasamala Aritonang, kemarin.

Menurut Rasamala, saat ini momentum bagi Presiden Jokowi untuk memperlihatkan keberpihakannya terhadap pemberantasan korupsi dengan menolak revisi UU KPK buatan DPR.

Dia masih menaruh harapan Presiden memiliki empati terhadap pihak-pihak yang berdiri di garis pemberantasan korupsi, termasuk KPK.

Selama ini telah terjadi perbaikan pemberantasan korupsi oleh KPK. Tapi jika revisi UU KPK yang diajukan DPR disetujui presiden, peran KPK bakal mundur.

“Enggak ada (jalan hukum bagi KPK). Kami pelaksana undang-undang. Kalau (revisi UU KPK) ditandatangani dan diberlakukan, ya sudah, pemberantasan korupsi berhenti.” Beber dia.

Tak cuma menyampaikan harapan, Rasamala juga menagih janji kampanye Jokowi soal pemberantasan korupsi dalam Pilpres 2019. Menurut dia, pemberantasan korupsi tak hanya dipakai untuk kampanye.

Rasamala menyatakan dia melihat hari ini masyarakat tidak melihat perbuatan Jokowi dalam pemberantasan korupsi.

Perlu diketahui dalap revisi UU KPK setidaknya ada beberapa poin revisi yang bakal melemahkan KPK. Antara lain, keberadaan dewan pengawas. Ini dinilai memperpanjang birokrasi di KPK sekaligus menjadi pintu baru bagi intervensi dari pihak-pihak lain.

Sebab, pemilihannya bakal serupa dengan pimpinan KPK. Bermula dari usul Presiden dengan membentuk Panitia Seleksi, lalu kemudian meminta persetujuan dari DPR.

Dalam revisi juga nantinya perlu adanya izin penyadapan ke dewan pengawas, pembatasan setahun untuk penanganan sebuah perkara, hingga tidak bisa mengangkat penyidik independen, sampai tidak bolehnya membuka kantor perwakilan KPK di wilayah-wilayah. Ditambah lagi, ada masukan agar pimpinan KPK harus berusia minimal 50 tahun.

Sementara itu, Mantan Ketua KPK Periode 2011-2015 Abraham Samad masih terus mempersoalkan revisi UU KPK. Salah satunya, terkait surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Usulan pemberian kewenangan SP3, dengan batas waktu penanganan kasus setahun, dianggap mengada-ada.

Alasan bahwa itu untuk mempercepat proses penanganan kasus tidak sesuai dengan kondisi di KPK. Yang notabene punya mekanisme berbeda dengan lembaga penegak hukum lainnya.

Menurut dia, harus dipahami alasan di balik waktu penangangan kasus di KPK yang terbilang lama. Yaitu, karena SDM KPK setidaknya 80 persen diberdayakan untuk pencegahan.

“Dari seribu pegawai, hanya sekitar 200 orang di penindakan. Semua diperkuat di pencegahan,” papar Abraham.

Ini juga yang menjadi alasan bagi KPK menolak poin revisi yang membatasi agar KPK berkantor di pusat saja. Tidak perlu kantor wilayah.

Dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti kejaksaan, lebih cepat dalam penanganan kasus karena perwakilan yang ada di seluruh pelosok Tanah Air.

ICW juga mempertanyakan pembatasan setahun penanganan kasus. Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, hal tersebut malah kontradiktif dengan UU KUHP.

Di mana penghentian kasus hanya bisa dilakukan dalam tiga syarat. Barang bukti tidak cukup, bukan tindak pidana, dan kasus kadaluarsa atau tersangka meninggal dunia.

KPK sendiri tidak diberi kewenangan memberi SP3 agar lembaga antirasuah tersebut bertanggungjawab dalam pengumpulan barang bukti hingga tuntas.

Terpisah, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas padang Feri Amsari  menyebut revisi UU KPK tidak bisa dilanjutkan.

’’Secara formil, pembentukannya cacat prosedural,’’ terangnya usai diskusi di bilangan Jakarta Pusat kemarin. Revisi tersebut tidak memenuhi prosedur yang ditentukan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Sebuah aturan yang cacat prosedural akan dianggap batal demi hukum. Dia akan batal dengan sendirinya.

’’Tidak dibutuhkan putusan pengadilan yang menyatakan sah atau tidak absahnya sebuah pembentukan peraturan perundangan kalau dia cacat prosedural,’’ lanjutnya.

Ada dua cacat formil dalam revisi UU KPK. Pertama, RUU tersebut tidak masuk dalam prolegnas prioritas. tiba-tiba saja naik di tengah jalan.

Menurut aturan, Undang-Undang dibahas bersama antara DPR dengan Presiden berdasarkan daftar list program legislasi nasional. Pembahasan di 2016 tidak bisa menjadi pembenaran.

Kedua, ada putusan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) yang menyatakan bahwa wajib bagi DPR memenuhi prolegnas yang ada. Sehingga kemudian tanpa ada surpres dari presiden bisa dibahas.

Menurut dia, wajib itu bukan berarti tidak memenuhi syarat prosedural. Yakni adanyasurpres sebagai bagian dari peran pemerintah dalam pembentukan UU.

Bila masih dipaksakan juga, maka suatu saat akan ada yang menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi. Bukan untuk uji materi, melainkan uji formil.Dengan konsekuensi tersebut, menurut dia semestinya DPR menunda revisi UU KPK.

’’Atau bahkan menghapuskan sama sekali dari memori mereka untuk membuat perubahan Undang-Undang KPK,’’ tutur Feri.

Presiden, lanjut Feri, diyakini sudah memahamiaturan dalam UU 12/2011. Dengan demikian, seharusnya presiden tidak boleh melegalisasikan apa yang sudah dicanangkan oleh DPR.

Presiden harus tegas menolak, bukan hanya karena sikap sebagai kepala pemerintahan. Namun juga karena revisi tersebut memang menyalahi regulasi.

Feri menyebut bahwa Presiden sendiri sikapnya juga asih mengambang soal KPK. ’’Usul saya, presiden harus berpidato di depan media, menyatakan kejelasan sikapnya. Ya atau tidak,’’ tambah Feri. Apakah memang presiden berpihak kepada KPK atau tidak.

Di sisi lain, aksi “selamatkan” KPK semakin menggelora. Kemarin pagi, ratusan pegawai KPK membagikan bunga dan leaflet kepada masyarakat yang berada di area car free day (CFD) di sekitar Bundaran Hotel Indonesia (HI) Jakarta.

Aksi itu untuk mengajak publik membantu KPK menyuarakan penolakan capim bermasalah dan revisi Undang-Undang KPK.

Bukan hanya itu, para pegawai juga secara simbolis menutup plakat KPK di gedung Merah Putih dengan kain hitam. Penutupan logo itu sebagai lambang kesuraman dan duka karena KPK akan berakhir bila capim bermasalah dan RUU KPK disahkan menjadi undang-undang.

”Kami berharap Presiden agar melakukan fungsinya sebagai Kepala Negara untuk mencegah KPK mati,” kata Christie Afriani, pegawai KPK.

Sementara itu, meski banjir protes semangat DPR untuk melakukan revisi UU KPK tak kendor. Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengatakan, DPR sudah mengirim surat ke Presiden Jokowi.

Surat itu berisikan draf RUU KPK. Jadi, presiden bisa mempelajari draf yang dikirim dewan. Setelah itu presiden akan memberikan balasan berupa surat presiden (Surpres) untuk membahas revisi UU. “Kami harap secepatnya surpres dikirim ke DPR,” ucapnya. (lum/deb/byu/tyo)