25 radar bogor

Lawan Musuh Pancasila, MPR Ingin Tiga Unsur ini Kompak

JAKARTA-RADAR BOGOR, Ancaman terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai ideologi bangsa disinyalir masih bergulir hingga kini. Untuk menghalau itu butuh kekompakan dari tiga unsur bangsa ini, yaitu kaum nasionalis, Islam dan TNI.

Ketiganya, kata Ketua Umum PA GMNI Ahmad Basarah, harus kompak dalam mengawal ideologi bangsa sampai kapan pun. Mereka punya peran strategis dalam memerdekakan serta menyusun konstitusi sebagai dasar negara.

“Karena itu, tiga unsur ini yang menjadi garda terdepan melawan pihak yang ingin mengganti konsep kebangsaan,” ujar Basarah dalam dialog Peradaban Bangsa Nasionalis, Islam dan TNI bertajuk Siapa yang Melahirkan Republik Harus Harus Berani Mengawalnya di Kantor GMNI, Jakarta Pusat, Senin (22/7).

Menurut Basarah, akhir-akhir ini ada pihak-pihak yang sengaja untuk mengganti fundamental bernegara kita. Termasuk pemilu kemarin, yang sangat bisa dijadikan sebagai sarana mengkapitalisasi hal-hal yang mempersoalkan ideologi bangsa Indonesia.

Basarah melihat ada pihak yang ingin mengubah konsep NKRI dalam bentuk negara lain. Karena itu, diskusi ini mengundang Jenderal TNI (purn) Moeldoko, Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini dan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.

Untuk pertahanan negara, Moeldoko menekankan, TNI memiliki doktrin mempertahankan keutuhan NKRI. Namun, dia menyadari selama ini kaum nasionalis dan agama tetap menjadi faktor penentu yang membuat negara bertahan dengan ideologi dan kebinekaannya.

“Tidak perlu diragukan kalau bicara Islam, jelas perjuangan bagian dari iman. Kalau kami lihat kelompok nasionalis, kalau tidak ada nasionalis, ambruk negara ini. Posisi nasionalis ini bisa bertahan dari tarikan kanan dan kiri. Kalau kolaborasi dengan TNI, siapa pun yang mengganggu, kami gulung saja,” kata Moeldoko.

Moeldoko juga mengisahkan bagaimana Indonesia secara politik dan sosial bisa bertransformasi dari pemerintahan totaliter menuju demokrasi. Menurutnya, banyak negara tak mampu meniru Indonesia sehingga negara seperti Libia, Mesir dan Suriah, jatuh.

“Indonesia berhasil menjaga alam demokrasi. Karena itu kalau ada yang tanya demokrasi kita gagal, di mananya gagal?” tanya Moeldoko.

Kepala Kantor Staf Presidenan (KSP) ini juga kerap bertukar pikiran dengan Panglima Myanmar tentang Indonesia menggeser kekuatan dwifungsi secara baik. Moeldoko mengaku tidak mudah menjaga dua kutub antara nasionalis dan agama untuk mempertahankan stabilitas negara.

“Antara demokrasi dan anarkis ini sebenarnya beda-beda tipis. Tapi di sisi lain, demokrasi tak boleh terganggu harus dikawal sebaik-baiknya,” jelas Moeldoko.

Sementara itu, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyatakan, Indonesia adalah rumah untuk rakyatnya. Karena itu, rakyat harus meyakini Pancasila, Bineka Tunggal Ika dan UUD 1945 sebagai dasar bernegara.

Bahkan, Muhammadiyah bertanggung jawab sejak awal bahwa Pancasila milik kita bersama yang dalam rumusan Muktamar Muhammadiyah disebut Darul Ahdi Wassahadah. “Karena itu semua harus bisa memberi kontribusi negara yang sesuai cita-cita bangsa sesuai alinea keempat pembukaan UUD 1945,” kata Abdul.

Sementara itu Sekjen PBNU Faishal menambahkan, pihaknya dalam mengawal NKRI selalu mengedepankan pendidikan sejak dini. Pendidikan dari pondok pesantren diyakini menjadi sumber penopang bagi masyarakat nusantara dalam memahami ideologi bangsa.

Meski begitu, dia mengingatkan masih ada pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menghilangkan ketimpangan ekonomi. Menurut dia, masalah ini harus dicarikan solusinya oleh pemerintahan yang mendatang agar negara dalam tatanan yang damai.

“Bagi NU, politik itu untuk membangun negara yang adil dan sejahtera, ujungnya melahirkan kemaslahatan,” kata Faishal.

Sedangkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menambahkan, baik TNI, Muhammadiyah dan NU, pasti menjaga Indonesia dari ancaman yang mengganggu Pancasila dan UUD 1945. Namun dalam jangka pendek, pemerintah harus menyusun kabinet agar program-program negara sesuai dengan amanat konstitusi.

“Ketika saat ini bicara nama-nama menteri bahwa menjadi menteri bukan ambisi orang per orang. Dia harus menguasai sejarah, kemampuan kepemimpinan, dan mata hatinya selalu untuk rakyat jelata,” kata Hasto. (JPG)